Jeno tidak menduga ternyata barang yang ia bawa banyak juga, mereka belum selesai dan ini hampir tengah malam, kini Jeno sedang mencuci tangannya. Ah, ia juga belum makan karena pria tadi membutuhkan bantuannya beberapa kali, Jeno belum menanyakan nama pria itu.
Berapa ia harus membayar? Jeno belum pernah menyewa seseorang untuk membantu pekerjaan yang seperti ini, apakah 1 juta won cukup?
Oh, dan ini pertama kalinya Jeno tidak merasa canggung dengan orang asing, mereka berkomunikasi cukup baik dan lumayan panjang. "Apa aku harus menawarkan makan malam? Apa dia sudah makan?"
"Tuan, anda ingin saya meletakkan tiga patung manekin ini dimana?"
Jeno menoleh, "Nanti saja, kau duduk di meja makan, aku akan panaskan pizza-nya sebentar."
Tidak ada protes, Jeno meraih sekotak pizza yang datang beberapa jam lalu dan kembali memanaskannya, meskipun rasanya tidak akan sama tetapi akan sia-sia jika dibuang. Jeno suka membuang uang, bukan makanan. Pria itu menyiapkan dua piring serta dua gelas dan mengisinya dengan air putih.
"Apa ini seperti ajakan makan malam?" Pria tadi bertanya, Jeno hanya berdehem sembari membawa pizza-nya ke meja, ia meletakkan sepotong ke piringnya sendiri dan di atas piring pria di hadapannya yang segera berterimakasih, suaranya halus dan lirih.
Keduanya lalu makan dalam diam, Jeno sesekali meliriknya, diam-diam iri karena mata pria itu lebih besar dari miliknya. Baginya, mata adalah salah satu elemen paling penting bagi seseorang untuk menunjukkan emosinya, tetapi kebanyakan orang menganggap Jeno sebagai seseorang yang dingin karena matanya kecil, kelopaknya turun, dan pupilnya tajam.
Ah, bulu mata juga! Itu cantik karena panjang!
"Dia ini sungguh pria atau bukan? Tapi bagaimana tubuhnya bisa sebesar aku?" Tidak, sesungguhnya sedikit lebih besar dari Jeno, tapi pria mana yang mau mengakui jika tubuhnya lebih kecil hanya karena metabolismenya sangat cepat?
"Siapa namamu?" Setelah bungkam untuk waktu yang cukup lama, Jeno akhirnya buka suara.
"Ah benar, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Jaemin, Na Jaemin."
Jaemin berdiri dan membungkuk , lalu tersenyum lebar pada Jeno yang sibuk mengamati visual pria itu, kemudian kembali duduk. Bagaimana mungkin ada wajah seperti ini? Jeno penasaran seperti apa wajah ayah dan ibu Jaemin sehingga gen yang mereka hasilkan ini sangat lumayan.
"LUMAYAN?! SIAL, APA-APAAN ITU?!" Jeno mengumpat dalam hati, sepertinya ia memang kelelahan karena terlalu banyak pikiran.
"Apa kau pernah pulang larut? Kurasa aku keterlaluan karena membuatmu lembur."
"Ah tidak, sama sekali tidak! Hari ini saya tidak ada jadwal di bar."
"Di bar? Kau juga bekerja di bar?" Oh tentu saja Jeno tahu mengapa, memang siapa yang tidak akan menerima pria dengan wajah tampan? Jaemin pasti bisa bekerja di mana saja karena wajahnya itu. Tapi tunggu... sebagai apa pria itu bekerja di bar?
"Astaga, Jaemin.... kenapa kau selalu seperti ini saat bertemu orang baru?"
"Yah, seperti itulah. Siapa yang tidak akan melakukan apapun demi uang? Lagipula menjadi bartender tidak buruk."
Oh... bartender.
"Bagaimana dengan anda? Kadang-kadang saya penasaran, bagaimana seseorang bisa menjadi begitu kaya?"
"Aku? Aku tidak tahu, aku tidak kaya, ayahku yang kaya. Aku di sini karena kakakku yang mengelolanya."
Belah bibir Jaemin terbuka, apa yang baru saja ia dengar? Kakaknya yang mengelola penthouse? Jadi... pria di hadapannya ini adalah adik Lee Mark? Boss-nya? Astaga, seharusnya Jaemin lebih berhati-hati saat bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO BUILD A HOME || JAEMJEN [✓]
Fanfiction[BXB] [M] [Ft. DongMark] "It's not the stab in the back that kills you, it's when you turn around and see whose holding knife." Inspired by manhwa 'The Pizza Delivery Man and the Gold Palace'. ©aksaratunggal_