"Jaemin, aku berada di Gold River Hospital, Mark mengalami kecelakaan dan aku tidak bisa meninggalkannya. Setelah pertemuan Jeno dengan Chenle, kau segeralah kemari, aku ingin bicara, masalah ini menjadi semakin serius. Dan jangan beritahu Jeno."
"Baik..." Jaemin menyandar lemas pada pantry, pantas saja saat ia berdiskusi bersama Haechan di ruangan tadi Mark tak kunjung datang, ternyata...
"Apa yang sudah terjadi? Aku harap tidak ada campur tangan tuan Taeyong, sebab itu akan sangat keterlaluan."
Siapa yang tahu jika kecelakaan itu adalah murni sebuah insiden atau disengaja? Mark celaka setelah Haechan memberikan bukti-bukti itu pada Jaemin, kemungkinan besar kecelakaan yang dialami Mark merupakan sebuah bentuk ancaman yang serius. Haechan bahkan meminta Jaemin datang dan bicara empat mata.
Jaemin melihat jam tangan miliknya, masih pukul dua siang, sedangkan Chenle akan datang kemari sekitar pukul empat.
Ia ingin tahu bagaimana keadaan Mark, apakah parah atau tidak? Apakah akan berdampak pada kesehariannya? Jaemin sangat yakin Haechan pasti tidak akan membiarkan Mark menderita, dan pasti akan mengambil keputusan yang terbaik bagi pria itu.
Jaemin tahu betul seberapa jauh hubungan Mark dan Haechan, pasangan yang sangat cocok karena kepribadian mereka yang saling pengertian. Haechan pasti akan memilih Mark apapun konsekuensinya, bahkan bila itu artinya ia harus membiarkan Jeno tetap berada dalam genggaman Taeyong.
"Siapa itu?" Jeno menyandarkan dagu ke bahu kekasihnya dan membuat pria itu sedikit terlonjak, satu alisnya naik melihat reaksi Jaemin yang buru-buru memasukkan ponsel ke saku celana dan kembali fokus pada apa yang sedang ia masak. Ngomong-ngomong Jaemin sedang membuat makan siang untuk mereka.
Jaemin menggeleng cepat, "Bukan siapa-siapa."
Oh, jawaban yang bodoh, Na Jaemin tidak pandai berbohong, saat gugup gerak-geriknya menjadi sangat jujur. "Apa aku terlihat seperti orang bodoh di matamu?"
Jaemin refleks menoleh ke samping, namun saat pipinya bersinggungan dengan hidung Jeno ia mengurungkannya. Pertanyaan Jeno menuntut Jaemin untuk jujur meskipun kalimatnya tidak demikian. Pria itu mendadak kosong saat Jeno memeluknya erat.
"I-itu tuan Haechan, dia hanya berterimakasih padaku karena telah membantu di dapur cafe."
"Tapi kau tidak terlihat senang, apa selain berterimakasih, dia juga berkata hal yang tidak-tidak tentangku? Aku akan sangat senang jika kau mau terbuka." Jeno membubuhkan kecupan di bahu dan tengkuk Jaemin, membuat pria itu mematikan kompor lalu berbalik hingga pelukan di pinggang itu terlepas.
Senyuman yang Jaemin terbitkan setelahnya membuahkan kerutan di dahi Jeno, jujur saja ia sangat penasaran dengan apa yang Jaemin bicarakan bersama Mark dan Haechan di belakangnya? Mereka seperti sedang menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang sangat penting dan rahasia.
"Jeno, apa kau percaya padaku? Kau percaya aku bisa membantumu untuk hidup lebih baik? Kau juga percaya aku bisa menolong dirimu dari orang yang ingin menjatuhkan-mu?"
"Ya, aku percaya." Jeno menjawab enteng, kini tangannya membuka pengait celana Jaemin dan menurunkan benda tersebut dengan kasar, menyisakan boxer hitam menggantung di kedua sisi pinggang pria itu, gerakannya cepat sehingga membuat Jaemin tidak sempat bereaksi.
Namun beruntung saat Jeno berniat menurunkan boxer hitam itu, Jaemin masih sempat menahannya, ia memandang dengan wajah terkejut, apa yang Jeno coba lakukan sebenarnya?
"Apa yang—"
"Kau tidak mau memberikan hadiah untukku?" tanya Jeno, nada dan tatapannya dingin, ia tidak mau menerima alasan apapun kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO BUILD A HOME || JAEMJEN [✓]
Fiksi Penggemar[BXB] [M] [Ft. DongMark] "It's not the stab in the back that kills you, it's when you turn around and see whose holding knife." Inspired by manhwa 'The Pizza Delivery Man and the Gold Palace'. ©aksaratunggal_