"Kau sakit? Wajahmu merah."
"Ah tidak, tidak! Hanya... saya baik-baik saja, kok." Jaemin kembali menunduk, gara-gara memikirkan ciuman mereka tadi, ia selalu tersipu saat mengingatnya. Pria itu tidak bisa mengendalikan dirinya apalagi ketika berada dalam satu ruang sempit seperti ini.
Jaemin masih sangat ingat rasa, tekstur dan euforianya, refleksnya saat menarik pinggang Jeno itu gila, ia tidak tahu jika akan bereaksi seperti itu, seperti pria yang gila akan sesuatu, kalap. Tetapi bagaimana bisa Jeno terlihat tidak terganggu dan biasa saja? Apakah Jaemin terlalu menggunakan perasaan?
Sekarang masih jam tujuh, masih ada dua jam sebelum waktunya menjemput Jisung, tetapi Jeno tiba-tiba saja mengajak Jaemin untuk keluar.
"Jaemin, bagaimana rasanya disukai oleh orang-orang? Aku dengar kau banyak dipuji karena sikapmu."
Oh, kalimat itu mengingatkan Jaemin tentang bagaimana orang-orang sekitarnya memandang Jeno, mungkin Jeno menyadari segalanya, pasti sulit menghadapi kalimat-kalimat kejam itu. Jaemin tidak tahu bagaimana rasanya dinilai buruk meskipun ia diam saja, banyak orang salah paham dengan cara Jeno menatap, bahkan Jaemin sendiri.
"Rasanya menenangkan, melihat orang lain melempar senyum bisa membuat saya melupakan masalah untuk beberapa waktu. Saya senang melihat wajah seseorang bersinar ketika mereka tersenyum. Bagaimana dengan anda?"
"Aku? Jika kau mendengar seseorang memujiku mungkin aku sudah berada di liang kubur. Tidak ada orang pernah tersenyum padaku. Aku bingung harus memanggilnya berkah atau justru kutukan? Aku senang saat tidak ada yang mengajakku bicara di keramaian, tetapi aku juga ingin berbincang seperti orang-orang."
Kenapa... kenapa nada Jeno bahkan tidak bergetar sama sekali? Sekeras apa hatinya? Apakah perlakuan orang-orang tidak melukainya? Pria itu tetap kukuh dengan wajah dingin, reaksinya berbanding terbalik dengan deretan kalimat keluhan itu.
Jaemin tidak mengalihkan pandangannya dari Jeno, ia ingin berada pada moment dimana ia menyadari perubahan emosi Jeno lewat mimiknya. Sampai saat itu terjadi, mungkin Jaemin tidak berniat melepas tatapannya.
"Anda yakin baik-baik saja dengan itu?" tanyanya.
"Kenapa tidak? Kita harus punya keberanian untuk dibenci."
"Benar, tapi manusia mana yang tidak ingin merasakan rasanya dicintai? Tuan, anda sekarang bisa bersikap seperti anak kecil di depan saya. Anda tidak perlu merasa malu untuk mengungkapkan sesuatu, biarkan orang lain melihat emosi anda. Dan terkadang anda perlu menangis sampai anda tidak sanggup lagi. Perasaan anda layak untuk divalidasi, dan rasa sakit hati anda layak untuk diakui."
Ada sesuatu yang naik ke pelupuk Jeno, namun tidak cukup percaya diri untuk benar-benar menunjukkan eksistensinya. Kapan terakhir kali ia bersikap manja pada orang lain? Bahkan Taeyong tidak lagi memperlakukannya seperti anak kecil, Jeno sangat suka diperlakukan seperti itu, sangat suka...
"Bertahan hidup itu sulit, tapi setidaknya anda harus bertahan untuk secangkir kopi favorit anda."
Jeno mendesis remeh mendengar penuturan Jaemin, untuk apa bertahan hidup jika dirinya sudah mati? Tidak ada yang menyadari hal itu karena tidak ada darah yang tumpah.
"Janjikan aku sesuatu, Jaemin, agar aku kembali hidup."
"Hari esok akan lebih baik."
"Bagaimana jika tidak?"
"Kalau begitu katakan lagi besok, karena mungkin saja akan benar adanya. Kita tidak pernah tahu 'kan? Suatu saat, besok akan lebih baik, sebab saya bersama anda."
——o0o——
Hening, pagi itu Mark datang bersama Haechan, kini empat orang duduk saling berhadapan dengan canggung. Itu semua karena tidak ada yang bicara, Jaemin ingin kabur dari situasi ini namun ia diminta untuk tetap duduk di sebelah Jeno yang bergeming dengan kedua kaki saling bertumpu dan tangan bersidekap dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO BUILD A HOME || JAEMJEN [✓]
Fanfiction[BXB] [M] [Ft. DongMark] "It's not the stab in the back that kills you, it's when you turn around and see whose holding knife." Inspired by manhwa 'The Pizza Delivery Man and the Gold Palace'. ©aksaratunggal_