"Jeno?"
Di sana, di sebelah pintu rumah Jaemin, seseorang duduk meringkuk dan memeluk lutut, masih mengenakan pakaian yang sama seperti siang tadi, bedanya kini surai hitam itu tidak lagi tertata; menjabarkan bagaimana frustasinya sosok tersebut.
Jaemin kembali goyah, nyatanya ia ingin terus melihat Jeno setiap saat. Ia pikir dirinya tidak butuh seseorang dan tidak lagi menginginkan apapun, namun saat Jeno hadir pada tiap detik dalam hidupnya, Jaemin mulai menginginkan segalanya.
Kenapa Jeno tidak melepasnya saja? Jika Jeno tidak segenap hati dan tidak berniat untuk sama jatuhnya seperti Jaemin, mengapa pria itu malah bersikap sebaliknya? Sekarang untuk apa Jeno di sini? Tidakkah ia mengerti bila Jaemin perlu waktu sendiri?
Pada akhirnya Jaemin memilih mendekat, toh tujuannya juga untuk pulang ke rumah. Ia merogoh kunci dan membuka pintu lebar-lebar, kalau-kalau Jeno ingin menginap. Dahi pria itu berkerut menyadari Jeno hanya bergeming saat Jaemin sudah berada tepat di depannya.
Jaemin berjongkok, mengguncang pelan tubuh sosok itu. "Tuan, anda baik-baik saja?"
"Siapa yang kau panggil 'tuan'?" Jeno mengangkat kepalanya, kedua obsidian yang tampak lelah tersebut kini sibuk memandang Jaemin, entahlah rasa kesalnya hilang begitu saja setelah hormon serotonin-nya mendapatkan rangsangan dari visual Jaemin.
"Kau benar-benar menyesal bertemu denganku?"
Jaemin menunduk. "Hiduplah dengan baik dan jangan sampai sakit, berbahagialah, makan makanan yang enak, carilah sesuatu yang lain agar anda tidak merasa kesepian."
"Aku tidak datang kemari untuk mendengar omong kosong-mu." Kedua tangan Jeno meraih kerah baju Jaemin dan sedikit mengguncangnya, perasaan kesal itu kembali menggerogotinya. Jeno sudah cukup lama menunggu di sini dan Jaemin dengan seenaknya menyuruh pria tersebut untuk angkat kaki dari sana.
Tapi bagaimanapun juga, Jeno bisa melihat kekasihnya putus asa, dari cara bicaranya pun tampak Jaemin tidak perduli lagi dengan hubungan mereka. Pria itu ingin Jeno hidup tanpanya seolah hal tersebut merupakan hal yang mudah. Apakah Jaemin bosan? Atau hanya main-main dengannya?
Bila jawaban dari pertanyaan itu merupakan sebuah kenyataan, Jeno tidak yakin bisa menghadapinya.
Tetapi Jeno tidak tahu bila Jaemin punya kekhawatiran yang luar biasa terhadap Jisung, Jaemin tidak hidup untuk dirinya sendiri, ia masih bernafas hingga detik ini, itu semua karena Jisung memberatkannya selama ini. Jaemin bisa saja berakhir sejak kematian ibu mereka, namun Jisung membuat pria itu tidak sanggup meninggalkannya.
Setidaknya untuk membuat Jisung tetap aman, Jaemin tidak boleh terlalu ikut campur dengan urusan Taeyong dan Jeno. Ia ingin emosi Taeyong mereda terlebih dahulu sebelum menemui Jeno, tetapi kini Jeno malah di sini dan menggoyahkan hatinya.
"Saat aku terpuruk sendirian di tempat besar itu, kau sangat percaya diri bisa membantuku bangkit, kini kau mundur dan tak sanggup lagi? Kau tahu apa yang aku katakan pada kakakku? Aku bilang padanya bahwa aku akan baik-baik saja selama kau bersamaku. Memohonlah padaku, Jaemin, katakan jika kau menyesal mengatakan semua hal tidak masuk akal itu dan meminta maaflah padaku."
Satu telapak Jeno naik, menangkup sisi wajah Jaemin dengan mengusapkan jempolnya ke pipi pria itu dengan sangat ringan. Sementara Jaemin masih diam. Wajah itu... Jeno tidak akan membiarkannya tergores meski sedikit, Jaemin adalah bentuk kesempurnaan yang nyata baginya.
"Bagaimana jika ada seseorang yang menahan diri agar tidak jatuh cinta lagi, kecuali itu denganmu, Jaemin?"
Kini Jaemin mendongak, mimiknya terkejut dan pikirannya kosong, apakah... itu bisa disebut pernyataan? Atau hanya sebuah pertanyaan? Tidak, Jeno tidak pernah segenap hati padanya, jadi Jaemin tidak akan menganggap itu sebagai hal yang perlu dijawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO BUILD A HOME || JAEMJEN [✓]
Fanfic[BXB] [M] [Ft. DongMark] "It's not the stab in the back that kills you, it's when you turn around and see whose holding knife." Inspired by manhwa 'The Pizza Delivery Man and the Gold Palace'. ©aksaratunggal_