Pada malam menjelang pagi itu, Jaemin menarik kasar lengan Jeno hingga pria itu jatuh ke dalam pelukannya.
Jaemin menciumnya.
"Lain kali cium aku seperti ini saat aku tidak bisa berpikir jernih."
Ia hanya melakukan perintah Jeno. Sementara Jeno sendiri membulatkan matanya, terkejut namun tidak menghindar, baginya Jaemin kuat, sangat kuat. Perdebatan kecil mereka cukup untuk membangun suasana menjadi vivid, melibatkan mata keduanya untuk saling bertemu dan bicara dalam kebisuan itu.
Alis Jaemin sedikit menukik, menandakan bahwa pria tersebut agaknya kesal dengan Jeno. Nyatanya Jaemin tidak benar-benar melakukan instruksi dengan benar, ia menjauh tak lama setelah berhasil membungkam Jeno.
"Apa aku perlu mengajarimu dua kali? Anak ini benar-benar—mmhh!" Oh, Na Jaemin tidak suka diremehkan dua kali dalam hal yang sama.
Malam ini lantainya sangat dingin, cukup untuk membuat dua orang di sana saling bertukar suhu tubuh. Jeno meremas bahu Jaemin saat lidah mereka bertemu, ciuman basah dan lengket, ia suka, sangat menyenangkan meskipun tidak didampingi perasaan maupun hubungan yang jelas.
Suara-suara yang terdengar ketika bibir mereka menyatu kemudian terlepas menggema di seluruh ruang, tidak cukup intim namun sukses membangkitkan birahi. Sesekali mengambil napas, lalu berciuman lagi, telah diulang berkali-kali tetapi rasa bosan tak kunjung datang.
Jaemin sangat yakin pasti wajahnya sudah sangat merah sekarang, dan jantungnya sama sekali tidak bisa tenang, yang ia lakukan justru memeluk Jeno semakin erat. Pria itu... diam-diam takut jika jatuh sendirian, ia tidak bisa mengendalikan perasaannya pada Jeno.
Jaemin akhirnya mengurai ciuman, kening mereka menempel dengan napas saling bersautan. Obsidian Jaemin bergetar ketika tangan Jeno menyentuh miliknya di bawah sana yang masih terbalut celana, kemudian meremasnya. Ia segera menahan tangan pria itu.
"Tuan..."
"Hm?" Jeno sedikit menunduk, menyapukan lidahnya pada leher jenjang Jaemin, menggigit dan menghisapnya. Tangannya dicekal saat hendak menurunkan resleting celana Sang bawahan, ia kembali menegakkan tubuh, tatapan tajamnya telak menyorot Jaemin yang masih belum bisa bernapas normal.
"Kenapa? Kau tidak suka melakukannya dengan pria?"
"Tidak, bukan seperti itu, hanya saja... kita punya sesuatu untuk dibicarakan, bukan?"
"Uhum, bicaralah, aku mendengarkan." Jeno meraih telapak tangan Jaemin, mengulum jari telunjuk dan jari tengah pria itu.
Jaemin sendiri tersentak, rasanya... geli, lembut, dan hangat, ia menelan ludah gugup saat Jeno dengan sengaja membuat gerakan keluar-masuk. Pria itu bahkan lupa untuk bicara, ia malah diam saja memperhatikan cara Jeno mempermainkan dua jarinya di dalam mulut.
"Aku... sangat suka bibirnya, bagaimana ini?" batin Jaemin merengek, tidak tahu harus berbuat apa, segalanya terasa sensitif saat Jeno yang menyentuhnya seolah-olah makna dari sentuhan itu sendiri berbeda dari yang lain.
"Tuan, kita benar-benar harus bicara."
Nada yang ditekan itu membuat Jeno melepas tangan Jaemin dan membiarkannya jatuh di udara begitu saja. Ia lalu menyeret Jaemin menuju sofa lalu memaksa pria itu untuk duduk dengan tenang di sana, sementara dirinya naik ke pangkuan Jaemin dan memeluk pria tersebut tanpa tahu malu.
Apa... Jeno selalu terang-terangan saat Chenle dulu? Atau ini sisi kekanakannya? Tapi, anak-anak mana yang matanya bergelimang nafsu? Huh... Jeno di depan publik dengan Jeno yang sekarang sangatlah berbeda. Jaemin jadi kewalahan menghadapinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TO BUILD A HOME || JAEMJEN [✓]
Fanfictie[BXB] [M] [Ft. DongMark] "It's not the stab in the back that kills you, it's when you turn around and see whose holding knife." Inspired by manhwa 'The Pizza Delivery Man and the Gold Palace'. ©aksaratunggal_