[17]

1.9K 194 14
                                    

Chenle datang lebih awal, Jaemin menunggu di kamar dan membiarkan Jeno menghadapi mantan kekasihnya sendirian. Bukan tidak mau menemani, Jaemin hanya merasa bahwa apapun yang terjadi antara Jeno dengan Chenle bukanlah urusannya, yang terpenting adalah mereka berdua bisa berdamai dan hidup tenang.

Sementara di luar masih hening, Jeno sangat tahu bagaimana tatapan Chenle padanya meskipun kini terhalangi oleh kacamata hitam milik pria itu. Ini adalah moment yang telah Chenle nantikan, yaitu menatap Jeno tanpa bicara selama yang ia bisa, namun sepertinya waktu kali ini tidak banyak, ia hanya bisa memanfaatkan kesempatan sebelum akhirnya bicara.

Jeno masih menunggu, pria tersebut menumpukan kaki dengan kedua tangan bersidekap dada, memandang lurus dan dingin pada sosok yang duduk berseberangan dengannya, tidak tajam sama sekali, tidak ada sanksi, hanya dingin.

"Saat itu, ayah bilang jika perusahaan kami menerima ancaman yang serius dari seseorang, dan memaksa kami untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Huangi Group. Ayah menerimanya karena beliau pikir hal ini tidak akan merugikan juga bagi Zhivago, tapi saat kami mengajukan kontrak, pihak Huangi langsung menolaknya dan mengajukan persyaratan lain. Mereka bilang aku harus bersedia menikahi Huang Renjun, dan kerjasama kita akan berakhir jika hubunganku dengan Renjun berakhir."

"Siapa dan mengapa? Berikan alasannya."

Chenle menghembuskan napas pelan mendengar pertanyaan singkat dan sedikit menuntut itu, ia menjilat bibir.

"Huang Renjun adalah cucu dari putra tunggal pemilik Huangi, tidak ada wanita yang mau menikah dengannya karena rumor itu benar, dia impoten. Aku menolak, aku sangat marah mengetahui ayahku tunduk pada orang lain. Aku langsung kembali ke China tanpa menemui atau bahkan memberitahumu, aku minta maaf untuk itu, aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya padamu."

Mengingat hari itu, rasanya Jeno akan patah hati untuk kesekian kalinya, bahkan hari ini.

"Saat aku di sana, beliau langsung berlutut dan memohon, bahkan kakakku juga tidak bisa apa-apa selain diam. Ayah menjelaskan semuanya padaku, dan saat itu juga aku tahu, bahwa aku juga harus tunduk, demi kebaikan perusahaan, keluarga serta kerabat kami. Jeno, sampai hari ini, aku masih mencintaimu."

Jeno menelan ludah kasar mendengar rentetan kalimat terakhir Chenle, ia pikir bahwa dirinya akan baik-baik dengan ungkapan itu, tetapi tidak.... rasanya masih menyakitkan, seperti dulu. Ia menelan mentah-mentah pikirannya sendiri yang mengatakan bahwa ungkapan itu tidak pernah tulus, tidak pernah.

"Aku tidak punya banyak hal untuk ditawarkan, aku juga tidak pandai dalam memberikan nasehat, tapi aku akan mendengarkan jika kau punya keluhan dalam 3 tahun terakhir." Chenle melepas kacamatanya, membuat Jeno segera mengalihkan pandangan, kemanapun asal tidak bertubrukan dengan netra gelap Chenle.

"Kau memang tidak pandai menasehati orang lain, tapi tindakanmu membuatku belajar untuk menerima kekecewaan, bahkan dari orang yang sangat aku cintai."

"Aku benar-benar minta maaf—" Ucapan Chenle terpotong oleh gedoran pintu yang dilakukan secara kasar, siapa yang datang dengan cara tercela seperti ini?

Jeno beranjak, tanpa melihat siapa yang datang ia malah langsung membukanya dan membiarkan dirinya terdorong ke belakang saat sosok itu masuk. Jeno berpegangan pada pintu dan menatap shock punggung lebar Taeyong, apa yang pria itu lakukan di sini?

Taeyong tampak menghampiri Chenle dan mencoba menyeretnya keluar, "Berani sekali kau datang kemari setelah mengkhianati adikku?! Dasar brengsek!"

"Kakak, aku yang membuat janji dengannya!"

Saat Jeno mencoba membujuk, Taeyong tidak menggubris sama sekali bahkan Chenle tidak bicara apapun dan pasrah saat dilempar keluar dari penthouse. Pintu itu akhirnya ditutup, Jeno sangat paham mengapa Sang kakak marah dengan kedatangan Chenle, tetapi mengusirnya dengan cara seperti itu tidaklah pantas.

TO BUILD A HOME || JAEMJEN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang