Bel istirahat sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu, hampir semua murid berbondong-bondong menuju kantin untuk memenuhi perutnya yang terasa lapar. Walaupun, masih ada saja murid yang hanya diam di dalam kelas. Seperti Athalarik saat ini.
Ketika sedang ingin menuju kantin, tiba-tiba ponsel Erik berdering. Airin, wanita itu menelponnya. Entah ada apa Mamanya itu menghubunginya di saat jam seperti ini, tidak biasanya. Mengingat, Erik tau betul jika ini adalah jam-jam Mamanya sedang sibuk dengan urusan kantornya.
"Iya, Ma."
"Aku nggak mau telat, jadi yaudah aku tinggalin pak Adi aja di jalan."
Pak Adi, supirnya itu pasti sudah memberitahu Mamanya tentang kejadian pagi tadi. Padahal, ini bukan masalah besar yang harus di perpanjang. Atau mungkin Airin yang menanyakannya tadi? Entahlah, namun yang pasti. Mamanya sedang menceramahi Erik dengan jurus andalannya, mengoceh terus menerus membuat lelaki itu sedikit menghela nafas gusar.
Selalu saja seperti ini!
"Aku baik-baik aja, Mama nggak usah khawatir." Dengan kesabaran setipis tisu, Erik berusaha keras untuk tidak merasa jengkel di depan Mamanya.
Athalarik bukan anak kecil lagi, dirinya sudah dewasa sekarang. Lalu, kenapa ibunya terus saja memperlakukannya seperti anak bocah berusia lima tahun?
"Mending Mama lanjut kerja, aku juga mau ke kantin."
Benar, perut Erik terasa lapar. Pagi tadi, lelaki itu hanya memakan satu lembar roti dengan toping kesukaannya, selai blueberry. Dari dulu hingga sekarang, Erik sangat menyukainya.
Tidak ingin menambah menu makanan lagi, Erik tidak berselera. Perutnya seakan memaksa Erik untuk menghentikan pasukan makanan ke dalamnya, juga degup jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, rasanya sedikit sakit juga sesak.
Tidak ingin membuat Mamanya terlalu khawatir, anak itu hanya berbicara jika tubuhnya sedikit terasa lemas saja. Hanya itu, selebihnya ia menyimpannya rapat-rapat.
"Erik juga sayang Mama." Sudut bibir Erik terangkat, ia tersenyum.
Beruntung sekali dirinya mempunyai Mama seperti Airin, wanita hebat yang telah sudi merawatnya dengan penuh kesabaran. Didikan lembut Airin sudah berhasil membuat Erik menjadi anak yang ia mau. Walaupun, Erik memiliki kekurangan akan kondisinya. Namun sekali lagi, Airin sangat bersyukur.
Di sisi lain, seorang lelaki tidak sengaja mendengarkan pembicaraan Erik dari dalam kelas sana.
Berniat kembali ke dalam kelas untuk pergi tidur, Athalla justru menghentikan langkahnya, menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik tembok, tentu saja ia tidak ingin Erik melihatnya.
"Lo tau, kenapa sikap gue kayak gini?" Lelaki itu bertanya pada dirinya sendiri.
Terasa sangat miris, setiap kali dirinya bertemu dengan adiknya bersama sang ibu. Hati Athalla terasa sakit, kenapa bukan dirinya saja?
"Karena gue iri!"
"Gue iri liat Mama lebih sayang lo daripada gue!"
"Gue..."
"Juga mau ngerasain kasih sayang Mama."
Athalla mengepalkan tangannya kala melihat bagaimana kedekatan keduanya, Mamanya sangat mengkhawatirkan adiknya melebihi apapun. Tidak seperti dirinya, bahkan takdir pun seakan menghindar tidak ingin memberikan sedikit kebahagiaan untuk Athalla.
Wajah Athalla terasa terbakar, kedua bola matanya sedikit memerah menahan tangis. Entah kenapa setiap yang berhubungan dengan sosok Mama, Athalla merasa sangat lemah.
"Bang, lo ngapain di situ?" tanya seseorang menghentikan lamunannya detik itu juga.
Terkejut, Athalla bahkan tidak mengetahui jika Erik sudah berada di ambang pintu. Menatap dirinya penuh selidik, seakan menganggapnya orang asing yang mencurigakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Belum Usai [END]
Teen FictionKenapa prinsip hidup sebagian orang begitu bodoh? Menyembunyikan semuanya tanpa ingin ada orang lain yang mengetahui, bukankah itu akan semakin menyiksa diri sendiri? Tidak apa jika dirimu di anggap lemah. Itu artinya, kamu masih benar-benar merasak...