Di waktu yang sama namun tempat yang berbeda. Seorang laki-laki berwajah rupawan, sedang asik bermain sembari memakan pop corn. Berbeda jauh dengan sang lawan, tubuh penuh sayatan, jari-jari tangan yang sudah tak terbentuk dan lihat itu wajahnya bahkan tak terlihat karena banyaknya luka dan darah.
"Kau telah berani melakukan kesalahan terhadapku."
Perkataan dingin dan menusuk, lelaki itu tujukan pada orang didepannya.
"Maafkan, saya Tuan muda," balas orang tersebut, menunduk takut.
Tatapan datar, tak membalas. Menaruh pop corn disebelahnya, ia pun langsung menendang wajah bawahannya itu dengan sangat keras. Duagh! suara yang sangat renyah tuk didengar, sang bawahan kini tak berdaya, bahkan untuk duduk kembali saja kesulitan. Tidak berani berteriak, karena jika melakukannya, tuan muda ini akan semakin menyiksanya. Dan tanpa disadari, air matanya kian mengalir.
Ia yang melihat mainannya menangis, lalu menghampiri dengan langkah perlahan. Saat jarak sudah dekat, ia pun berjongkok menyamakan tinggi mereka. Lantas ia mengusap lembut air mata yang meluruh itu.
"Shutt, jangan menangis ...," ujarnya kasihan.
Setelah itu, ia segera berdiri dan mengambil sesuatu yang sangat ia sukai. Sebuah tongkat bisbol dengan apel ditangannya.
"Mari bermain lagi, tapi kali ini kau duluan," suruhnya, memberikan bisbol dan apel tersebut.
Sedikit gemetar orang itu menerima. Tampak jelas raut bingungnya, apa yang harus dilakukan?? pikirnya. Karena tidak tahu peraturan bermain sang tuan muda, orang itu lantas memukul apel tersebut kearah dinding dengan keras, hingga membuat apel itu sudah tak berbentuk.
"Hebat sekali!!! Sekarang giliranku!!" girangnya, menatap kagum pada mainannya.
Orang itu lantas memberikan bisbol tersebut, dan saat ingin mengambil apel yang ia lempar tadi, sang tuan muda terlebih dahulu mengehentikan. "Buat apa diambil? Apel itu sudah hancur,"
Orang itu diam membeku. Firasatnya mulai tidak enak mengenai apa yang akan tuan mudanya pukul nanti.
"Kau yang menghancurkannya, kau juga yang harus menggantinya."
Hendak berbicara, ia sudah memukul dengan keras wajah lelaki didepannya ini tanpa belas kasih sedikit pun. Bukan hanya sekali dua kali, melainkan berkali-kali hingga tak berbentuk. Tawa iblis menggema seisi ruangan, ia terus memukul kepala itu bahkan tak peduli bahwa yang ia pukuli saat ini hanya remahan daging manusia.
🥀🥀🥀
Apakah kata maaf bisa memperbaiki semuanya?
15.05
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Hearly dan Lauva kini sedang berjalan untuk menuju ke parkiran, tempat mobil mereka berada. Namun, langkah mereka harus terhenti tat kala hujan tiba-tiba saja turun membasahi lingkungan.. Koridor dan tempat parkir sedikit jauh, sialnya lagi tempat berteduh dari hujan hanya lah di koridor yang mau tak mau membuat mereka berdua menunggu sampai hujan sedikit reda.
"Arly, maaf. Aku lupa membawa payungmu tadi," sesal Lauva, menatap sedih padanya.
"Tidak apa, aku bisa menunggu," balasnya, tersenyum kecil.
Hujan yang amat deras, tak kunjung reda. Banyak siswa siswi juga terjebak seperti mereka, ada yang menepi, ada juga yang bermain hujan. Lauva melihat nona nya, tidak memakai jaket yang dibawa membuatnya mendengus kesal.
"Kalau Nona sakit nanti, saya yang akan dimarahi oleh tuan," ujar Lauva formal, mengambil jaket yang dibawa sang nona Odelian itu dan memakaikannya.
Hearly tidak menanggapi, sedari tadi atensinya tidak bisa teralihkan oleh sosok siswa yang sedang duduk manis dengan buku dibaca. Namun saat atensinya bertabrakan, membuat Hearly langsung mengalihkan perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fire Rose
RandomMawar merah ini, terlalu cantik untuk sekedar dipetik maupun dikotori. [Follow terlebih dahulu sebelum membaca!] Dia wanita 24 tahun. Dia hidup tanpa adanya kekurangan. Dia melakukan hal yang diinginkan, dan sangat membenci jika satu dari keinginann...