11

2.8K 129 4
                                    

***
Entah sudah berapa kali Salma menarik napasnya, berusaha mengendalikan degub jantungnya yang kian berdetak kencang.

Ia menuruni anak tangga rumahnya dengan tampilan rapi dan cantik, tentu saja.

"Rapi banget sih Ca..padahal belakang rumah doang hahah" Riati meledek.

Salma mengerucutkan bibirnya, menggembungkan pipinya.

"Namanya juga mau ketemu calon suami Mah. Harus rapi dan cantik. Ya kan Ca ?" Wandi ikut-ikutan meledek.

"Ih Papa sama aja. Malas ah.."

"Duuh ngambek..udah sana Rony nungguin tuh dari tadi. Nanti Mama bawain teh sama cemilan"

"Mmm..biar aku aja yang bawa sekalian Ma"

"Takut banget diganggu yah kayaknya. Sampe gak ngebolehin Mama bawain tehnya"

"Gak gitu Mah..malu aja gitu aku muncul-muncul langsung duduk. Kalau aku sambil bawa teh kan setidaknya ada pelampiasan gitu"

"Pelampiasan salah tingkahnya ??"

"Mama hiiih..."

Riati dan Wandi terkekeh. Puas menertawakan tingkah konyol Salma yang nampak begitu malu dan salah tingkah.

***
Sudah hampir 10 menit Rony dan Salma bertahan dengan saling diam dan membisu.

Tidak ada yang berani membuka suara. Keduanya larut dengan pikiran masing-masing. Perasaan malu, salah tingkah, tapi juga senang sangat mendominasi pertemuan malam itu.

"Sal.."

"Pak.."

Eh, keduanya bicara bersamaan. Saling menatap dan tersenyum simpul. Aaah...Salma ingin menghilang.

"Kamu duluan saja Sal" titah Rony.

"Bapak duluan aja" jawab Salma.

Rony akhirnya menatap Salma yang duduk di depannya.

Saat ini mereka memang duduk di taman belakang rumah Salma. Taman belakang yang dipenuhi rerumputan hijau, bunga-bunga, dan pancuran kolam ikan di salah satu sisinya. Bunyi gemericik air menambah kesan syahdu malam itu.

Malam sangat mendukung suasana. Bintang bertaburan, angin bertiup lembut mengenai wajah Salma dan Rony, sesekali bunyi kendaraan dari lorong sebelah masih bisa tertangkap indera mereka.

"Sal..bisa tidak kalau diluar kampus seperti ini jangan panggil saya dengan sebutan Pak atau Bapak. Formal banget. Jadi kedengaran kaku"

"Tapi, Pak.."

"Mas aja boleh ?"

Mas Rony ? Ya Allah dalem Dek.

Salma mengangguk pelan walau sebenarnya Ia justru canggung dengan panggilan baru itu.

"Sal..saya minta maaf sama kamu kalau belakangan menurutmu sikap saya terkesan tidak konsisten. Kemarin-kemarin saya bilang suka sama kamu, lalu saya bilang kalau saya sudah mau menyerah, eh tiba-tiba saya datang melamar. Maaf yah kalau sikap saya ini membuat kamu bingung"

Itu dia hal yang membuat Salma bingung. Belakangan Rony seperti menarik ulur perasaannya. Sewaktu-waktu Ia membuat Salma yakin dengan perasaannya tapi, dilain waktu lelaki itu membuat Salma meragu dengan perasaannya.

"Pak eh Mas" ada nada ragu diujung kalimat Salma.

Rony tersenyum lagi. Lucu.

Salma mengigit ujung bibirnya, malu.

"Sebelum itu saya juga mau minta maaf, sikap saya kemarin-kemarin tidak kalah menyakitkan bagi bap eh Mas Rony. Saya sadar mulut saya ini sudah banyak mengeluarkan kata-kata yang kasar kepada Mas Rony. Sejujurnya saya tidak benar-benar sengaja mengatakannya, saya hanya tersulut emosi. Ini juga yang Mas Rony harus tau, saya ini masih labil dan kekanak-kanakan." Salma mengakhiri kalimatnya dan memberanikan diri menatap balik ke arah Rony.

Tatapan keduanya bertemu. Untuk beberapa detik tatapan tersebut terkunci. Larut dalam netra hitam keduanya.

"Tidak masalah, bagi saya apapun kejadian kemarin itu sudah yang terbaik dan karena kejadian kemarin itu kita bisa sampai di hari ini"

Salma mengangguk mengiyakan. Yah, dia setuju. Kejadian kemarin justru sedikit banyak membuatnya lebih banyak merenung dan kembali menata hatinya. Memikirkan dengan matang bahwa ternyata Ia memang telah jatuh hati pada tetangga sekaligus dosennya itu.

"Mas Rony saya bisa bertanya sesuatu ?"

"Tentu saja..silahkan tanyakan apa saja. Saya tidak ingin ada keraguan dihati kamu terhadap saya sebelum kamu benar-benar mengambil keputusan"

Lagi, Salma mengangguk.

"Bu Sinta itu siapanya Mas Rony ?" Tanya Salma agak ragu tapi, berusaha Ia tahan. Pertanyaan ini benar-benar mengganggunya belakangan ini.

"Sudah saya duga, Bu Sinta itu satu kota dengan saya. Kami satu sekolah saat SMA dulu dan dia adalah kakak dari adik ipar saya"

"Haah ? Adik ipar ? Mas Rony punya adik ?"

"Iya, Mas punya adik perempuan namanya Nabila. Dia baru aja menikah, kemarin saya pulang kampung karena dia akhirnya menikah dengan adik Sinta, Paul namanya"

Ah, syukurlah. Batin Salma.

"Adik Mas Rony pernah kesini ?"

"Pernah.. semingguan belakangan ini dia ada disini mengurus beberapa hal mengenai pernikahannya. Saya tidak tau pasti apakah kamu pernah melihatnya atau tidak tapi, yang jelas adik saya itu berjilbab sama seperti kamu, tingginya juga sebahu saya."

Ah, Salma mulai menemukan titik terangnya. Kemungkinan perempuan yang Ia lihat di rumah Rony kemarin-kemarin itu adalah adiknya. Yah, masuk akal.

"Ada lagi pertanyaan lain ?"

"Novia.."

Lagi-lagi Rony tersenyum. Banyak juga ternyata pertanyaan Salma. Wajar saja Ia tidak langsung menerima lamarannya kemarin malam.

"Saya dan Novia hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Saya sering mengantarkan dia pulang karena memang saya ada keperluan dengan dia"

"Keperluan ?"

"Iya, saya minta maaf Sal. Tapi, sejujurnya saya banyak mengulik tentang kamu dari Novia. Karena saya tau kamu bersahabat dekat dengan Novia. Maaf kalau saya lancang" tutur Rony dengan nada sedikit khawatir diujung kalimatnya.

"Mas Rony sesuka itu yah sama saya ?" Entah keberanian dari mana Salma justru bertanya meledek.

"Iya, saya memang sesuka itu sama kamu."

Lah..
Salma yang mancing Salma juga yang akhirnya malu dan salah tingkah.

"Mmmm Mas Rony gak ada yang mau ditanyain sama saya ? Mas yakin mau memperistri saya ? Saya ini manja, bawel, keras kepala juga. Pusing nanti"

"Hidup saya kemarin-kemarin itu terlalu datar. Saya butuh yang seperti kamu untuk membuat hidup saya lebih berwarna"
Jawab Rony dengan lempengnya.

Lama mereka terdiam.

"Jadi bagaimana ?"
Tanya Rony.

"Besok saya kasi jawabannya yah"

Rony mengangguk.

"Eh, Salma boleh tidak kit a ngobrolnya pake aku kamu. Rasanya pake sebutan saya terlalu berat"

"Mm..iya, boleh"

"Terimakasih yah..saya harap jawaban kamu sesuai apa yang saya minta kepada Tuhan"

Salma mengaminkan dalam hati.

Keduanya kembali mengobrol ringan, terlalu asik mengobrol sampai lupa teh yang tadinya hangat itu kini sudah berubah dingin.

Biarkan saja, mereka tidak lagi memerlukan secangkir teh untuk menghangatkan tubuh sebab duduk berdua disini dan bercerita banyak hal sudah cukup menghangatkan jiwa keduanya.

***
Yuhuuuuui

Salam hangat

Salmocean 💙

Mengetuk HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang