35

138 10 0
                                    

"Dev? lo udah baikan?" tanya Arthur sembari menghampiri Devano yang terduduk di kursinya, dengan Bryan berada di belakangnya.

Devano tersenyum manis. "udang doongg!"

Arthur pun terkekeh lalu perlahan duduk di kursi samping Devano. "hati hati..." ujar Bryan sembari membantu Arthur masih sedikit kesusahan saat duduk. Sesekali terdengar ringisan saat bokong Arthur mengenai kursi.

Devano yang melihat itu tersenyum watados kearah mereka berdua. Mana sambil pegangan tangan lagi.

Arthur menatap Bryan seperti mengisyaratkan jika dia sudah nyaman. Bryan pun melepas pegangan itu lalu berdiri di samping Arthur.

"kalian....." ucapan Devano menarik atensi Bryan dan Arthur. Sehingga kedua orang itu menatap Devano.

"habis ngapain thur? Kok lo... Kesusahan duduk gitu... Wasir?" tanya Devano bercanda.

Arthur menggeplak pundak temannya itu. "nggak ya! Kagak ada critanya seorang Arthur kena wasir. Gini gini gue juga jaga kesehatan pantat gue tsay." kata Arthur.

Devano menggulum senyumnya. "a-ah... Gue kira... Kok lo kesusahan duduk gitu?" tanya Devano sembari menyangga kepalanya menggunakan tangan kirinya.

Ucapan Devano membuat wajah Arthur memerah seperti tomat rebus. "i-itu...." dia melirik Bryan yang tersenyum tipis kearah Arthur sembari menyisir rambutnya ke belakang dan berdehem sejenak.

Devano semakin penasaran. Ada apa dengan temannya ini?. "apaan sih thur? Sumpah gue nanya ni."

Arthur menunduk. "anu... Kemarin, gue kan kerumah Bryan, trus... Pas mau mencet bel-kan hujan yak pas itu, nah pas mau naikin tangga yang di depan, tiba tiba ada petir nyamber tiang yang ada di depan rumah nya, otomatis gue kaget dan kepleset. Pantat gue.... Kena pinggiran tangga. Untung ga patah, cuma biru biru ama nyeri aja kalau buat duduk." ucapnya.

Devano ber oh ria. "pantes keliatan lebih gede dari biasanya, bengkak tha... Tak kira karna di remetin bang Bry-hmphh!!" Mulut Devano di bungkam telapak tangan Arthur.

"sembarangan kalo ngomong anjing." dengus Arthur.

"barangkali kan!" sungut Devano.

Arthur kembali ke tempatnya. "ya ga gitu lah... Orang gue ama Bryan kagak ada apa apa..."

"yakin? Gamau FWB an aja?" pertanyaan Devano yang lagi lagi di buahi geplak an manis dari Arthur.

"cangkemu i nek omong olo tenan og Dev!" sarkas Arthur.

Devano mengeluh sakit di bagian pundaknya. Benar benar geplak an nya Arthur 11 12 ama geplak an nya Anggi kalau lagi ketawa. Udah ke 10 kalinya pundak kanannya menjadi korban.


                               (•ω•)



Devano saat ini tengah jajan di kantin. Dia membeli beberapa gorengan dan akan menuangkan saos ke gorengannya. Namun, belum dapat setetes, tiba tiba botol saos nya di sahut oleh seseorang. "hey!" Devano melotot dan menatap orang yang mengambil saosnya.

"gausah pake saos beginian,lambungmu ga kuat."

"dihh! Kata siapa! Balikiin!" Devano meraih raih saos yang di bawa Farrel. Devano hanya sebatas dada Farrel. Bayangkan saja setinggi apa Farrel.

"Farrelo! Gue aduin bokap lo loh! Balikin bangsaat!"

Farrel menyeringai. "ngaduan iiihh. Gaasikk." ucapnya sembari melempar botol saos itu ke mbak mbak kantin yang ada di sana.

Devano menatap nelangsa botol saos yang dibawa mbak mbak kantin itu. "yaah..." lalu dia menatap sengit Farrel. "brengsek deh! Gue cuma mau saos bjir. Gue juga gabakal nuang satu botol penuh."

"lo selama sebulan gaboleh makan makanan yang pake saos sama minuman bersoda. Gue dapet pesan itu dari dokter." ucap Farrel sembari bersedekap dada.

Devano merengut kesal lalu berjalan meninggalkan Farrel yang masih disana.

Farrel menatap Devano yang berjalan sembari menghentak hentakkan kakinya hingga plastik gorengannya geal geol. Dia terkekeh geli. "dasar bocah."

Devano berjalan menghampiri Deya dan Farasya yang sedang duduk di kursi bawah pohon di dekat ruang guru. Dia duduk di samping Deya dan mendengus kasar.

Deya menatap Devano sembari mengunyah sosis otak otak. "ngopo neh iki?" tanya Deya.

Devano menatap Deya dan Farasya. "abang lo noh, si Farrelo. Ngeselin, masa gue gadibolehin makan ni gorengan pake saos cok. Kalau begini doang kagak ada rasanya." ucap Devano.

Deya melotot menatap Devano. "lah si anying! Belum genep satu minggu pulang ke rumah udah mau makan makanan yang ga sehat." ucapnya tidak percaya sembari menatap Farasya lalu kembali ke Devano.

"harusnya tuh. Bang vano makan salad yang di buatin kak Farrel." ucap Farasya sembari menyodorkan satu kotak makan berisi selada, tomat ceri dan wortel yang di beri toping saos mayonese.

Devano mendengus. "gue dikira kambing apa? Disuruh makan makanan kayak gini?" tanya Devano.

Farasya menaikkan bahunya tidak tahu. "aku disuruh kak Farrel ngasihin ke bang Vano." Farasya memaksa Devano untuk mengambil kotak itu. Namun Devano menolak. "gaaa! Gue bukan kambing!"

"ga semua yang makan sayuran itu kambing mas." ucap Deya.

Devano menggeleng ribut. "pokok e emoh og!"

"gue udah effort bangun pagi dan ikut mama pergi ke pasar cuma buat bikin lo loh van. Lo ga ngehargai usaha gue gitu?" tiba tiba Farrel muncul.

Devano tersenyum terpaksa kearah Farrel. "makasih atas effortnya, tapi lo gausah bikin kayak gini. Ga guna sat. Bikin lo repot aja."

Farrel mengambil kotak yang di sodorkan Farasya, dia berdiri di depan Devano, mengambil sesendok salad itu, lalu menaruh kotak itu di samping Devano. Tangan kirinya memegang dagu Devano agar menatapnya dan sedikit memaksa bibir pink itu agar terbuka, lalu perlahan Farrel menyuapi Devano. Devano pun hanya menurut dan menerima suapan itu.

Farasya dan Deya terkejut melihat pemandangan itu.

Farrel juga mengusap pinggiran bibir Devano yang terkena noda mayonese dengan ibu jarinya.

"BADJINGAN! GAYA SUAP SUAPAN OPOAN KUI COK?!" Deya berteriak frustrasi hingga, rasanya ingin menabrakkan dirinya ke truk tronton.

Farasya hanya bisa tersenyum watados dan mengelus pundak Deya. "sabar... Besok cooming soon pake bibir kok." ucapnya sembari memfoto adegan itu.

Falling in love with an upperclassman[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang