Darah daging?

6.9K 334 11
                                    

Kini ke2nya berjongkok di antara 2 makam bersebelahan itu. Sudah 20 menit mereka terdiam dengan doanya.

Hingga Ily bangkit el turut bangkit. Mengingat hari semakin petang.

Ily berdiri menghadap El yang juga menatapnya.

"Gw tau ini salah. Tapi gw sayang sama lu."

El terdiam. Membiarkan Ily berbicara soal hati dan perasaannya.

"Maafin gw udah rusak lu dulu. Gw ga mau lu dimilikin orang lain. Anggep gw egois. Gw mau nya sama lu."

"Kalo gw ga mau?"

"Gw usahain lagi."

"Kalo selamanya gw ga mau?"

"Mungkin dengan cara ngehamilin lu dulu baru lu luluh."

"Oh mumpung di makam nih. Mau gw galiin liangnya?" Kesal El. Ily terkekeh sejenak lalu kembali fokus.

Ia menarik kedua tangan El untuk ia genggam.

"Dengan ini gw mau minta izin sama omma dan Appa juga Tuhan buat milikin lu selamanya. Buat minta restu mereka."

"Daddy bakal marah."

"Gw bisa urus."

"Tapi gw ga mau cepet. Gw masih marah sama lu. Gw masih dendam. Gw masih mau benerin ati gw dulu."

"Iya gw ngerti. Gw juga ga maksa lu buat jawab cepet-cepet. Yang penting lu tau kalo gw sayang banget sama lu. Melebihi apapun."

El mengangguk paham membuat Ily tenang. Setidaknya dia sudah jujur agar kedepannya bisa lebih baik.

Yang harus ia pikirkan adalah meminta izin Angkasa.

Pilihannya hanya 2. Minta restu tapi mati muda atau cari aman. Dan Ily tentu saja memilih opsi pertama. Dengan modal tekad tentu saja.

***

Tengah malam Ily disibukkan dengan tugasnya. Dia tadi mendapat laporan berkas dari tomy yang harus dia periksa dan kerjakan. Ia pikir Tomy pasti kesusahan tanpa dirinya. Makanya dia meminta semua laporannya agar Tomy bisa beristirahat malam ini.

Ia menyesal tadi tak membawa air kedalam kamarnya sampai kini tenggorokannya terasa sepet dan kering. Ily beranjak untuk ke dapur. Niat membuat kopi sekaligus untuk menemani lemburnya.

"Dad?"

Yang dipanggil menoleh. Angkasa juga tengah membuat kopi. Pria itu juga lembur malam ini.

"Ngapain?" Tanya Angkasa.

"Bikin kopi. Ada lembur. Daddy ngapain?"

"Sama."

Ily mengangguk. Ikut membuat kopi itu.

"Besok Daddy ke Kanada."

"Iya. Daddy udah janji mau bantuin Ily."

Ya mereka membuat kesepakatan saat makan malam tadi. Angkasa akan turut andil dalam pengembangan perusahaan Ily di Kanada. Membantu Tomy. Karena memang disini Angkasa hanya mempunyai 1 perusahaan itu membuatnya banyak waktu senggang. Ia bisa menyuruh Bagas mengurus perusahaannya sejenak sementara ia menangani milik putranya itu.

"Bubu kalian ikut."

"Daddy mana mau pergi kalo Bubu ga ikut."

"Ya. Kamu tau itu. Dan Zara sama kalian. Zara sering nginep di rumah Omma dan Appanya. Larang dia jika ingin keluar malam."

"Akan Ily lakukan."

Si bungsu sudah SMA sekarang. Usianya segitu bisa mengundang pergaulan bebas dari teman-temannya. Apalagi dia seorang gadis membuat Angkasa begitu overprotektif jika menyangkut kegiatannya. Dia tak mau putri semata wayangnya kenapa-napa.

"Ada yang ingin Daddy bicarakan."

"Penting, Dad?"

"Kalo ga penting, Daddy ga mau buang waktu buat ngomong bualan."

"Oke."

Ke2nya kini duduk berhadapan di meja makan. Dengan kopi masing-masing didepan mereka.

"Kamu mungkin akan marah, kaget atau emosi kalo dengerin ini."

"Kenapa?"

"Karena ini nyangkut El dan... anakmu."

"Hah?!" Otak Ily tak selemot itu untuk mencerna kata terakhir tadi yang Angkasa ucapkan.

"Perbuatanmu dulu menumbuhkan janin di perut El."

Mata Ily membola mendengarnya. Darah didalam tubuhnya mendesir kuat mendengar kata perkata yang meredam emosinya.

"La-lalu dimana..."

"El keguguran di usia kandungan 4 bulan."

Deg!

Bagai di sambar petir di awan yang terik Ily mematung ditempat. Dia seharusnya sudah menjadi seorang Ayah sekarang. Tapi takdir belum berpihak padanya.

"Kenapa?"

"Laporan yang diterima dari dokter, El memakan makanan yang sudah tercampur bahan kimia untuk menghancurkan gumpalan bayi di rahim El. Saat pulang sekolah waktu itu, El ambrug di teras dalam keadaan mulut berbusa. Karena panik, Bubu langsung membawanya ke rumah sakit. Dan dokter mengabarkan janinnya sudah hancur dan lenyap."

Ily lemas. Darah dagingnya. Bakal calon anak pertamanya. Lenyap tanpa sepengetahuannya. Dia bahkan tak tau El hamil karenanya.

"Dan bahan kimia itu juga melemahkan sebagian ingatannya. Bahkan El tak mengingat pernah hamil dan kami sepakat merahasiakannya. Tapi El mengingatmu. Dia mengingat kami. Hanya saja dia tak mengingat pernah ada makhluk lain didalam perutnya. Kata dokter itu hanya sementara. Suatu saat nanti El akan kembali mengingat semuanya. Tapi kami menunggu selama ini, El tak pernah menanyakannya. Ntah kami harus menyembunyikannya sampai kapan."

Ily masih diam. Otaknya terus memaksa untuk mencerna dan memahami perkataan Angkasa yang begitu mendebarkan.

"Sekarang adalah tugasmu sebagai penanggung jawabnya. Daddy nggak terima cucu pertama Daddy lenyap gitu aja. Itu pasti disengaja. Tugasmu mencari pelakunya."

Hening beberapa saat sebelum Ily mengangguk mantap menyanggupi.

"Apa temen-temen El dulu tau soal kehamilannya?"

"Phoenix pun tau."

Ily mengangguk lagi. Dia harus menggali informasi untuk 5 tahun silam. Semenjak ia pergi meninggalkan El yang ternyata akan mengandung darah dagingnya.

Sekarang mau menyesal pun percuma. Yang ada didalam kepalanya sekarang hanya dendam. Dia harus mendapatkan orang itu. Baik dalam keadaan hidup maupun mati. Nyawa dibalas maaf itu tidak adil.

"Dad."

"Hm."

"Aku ingin serius dengan El."

Hening.

Hingga terdengar helaan napas dari Angkasa.

"Daddy sebenarnya tak mempermasalahkan hubungan kalian. Mau kalian nikah pun Daddy dukung. Hanya saja ini menyangkut karier mu dan perusahaan Daddy. Publik punya pro kontra nya sendiri. Masih mending jika lebih banyak pro. Mungkin karier mu dan perusahaan Daddy hanya merosot sedikit. Tapi apa jadinya jika mereka yang menentang dan mencemooh hubungan kalian? Daddy tak yakin kau bisa jadi gelandangan."

"Dad itu perkara mudah. Materi masih bisa ku cari. Aku tak butuh pandangan publik untuk masalah hati dan perasaanku. Mau mereka terima atau tidak, aku tidak peduli. Mereka menjauh dan tak mau bekerja sama lagi pun its oke. Aku masih bisa membangun usahaku sendiri mulai dari nol lagi. Tabunganku lebih dari cukup untuk menghidupi El nantinya." Jelas Ily meyakinkan.

"Ya. Daddy tau kamu selalu berpikir krisis, Ily. Daddy percayakan semuanya padamu."

"Terima kasih banyak, Dad."

"Of cours, son."

Ily menghela napasnya lega. Perasaannya kini campur aduk.

Ada emosinya karena perkara anaknya. Dan ada bahagianya karena sudah berhasil mendapatkan restu sang Daddy.

Yang harus ia pikirkan kini adalah membalas dendam untuk kematian buah hatinya yang bahkan belum sempat melihat dunia kejam itu. Dan bayi itu belum melihat Papa nya yang tampan ini.

***

TWINS {S2} ⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang