Chapter 4

235 38 8
                                    

🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁


Hari Jumat.

Hana masuk kantor dengan keadaan yang terlihat baik diluar namun hancur di dalam. Penyiksaan berlebihan semalam membuat banyak sekali luka terlihat di seluruh tubuhnya.

Berbeda dengan luka tubuh yang bisa dengan mudah ditutupi menggunakan baju panjang dan tertutup, luka bekas tamparan memerlukan perhatian ekstra. Tidak terhitung jumlah foundation yang digunakan untuk menyamarkan bekas luka tersebut.

Hana yang sedang duduk di meja kerjanya merenung, melihat cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya dengan tatapan sedih. Sambil memutar-mutar benda itu, ia tiba-tiba sama memikirkan untuk melepasnya.

Haruskah?

Tetapi resiko besar jika saat pulang ia lupa memasangnya kembali. Itu hanya menjadi alasan bagi Reyhan untuk memukulnya lagi.

Hana frustasi. Pernikahan impian bayangannya sudah hancur karena jalinan takdir. Ia benci mengatakannya tapi tidak ada yang pernah berhasil dalam hidupnya. Mungkin satu-satunya yang membuat ia kini puas adalah fakta bahwa dirinya kini bekerja dilingkungan yang lumayan bagus.

"Han," Hana terlonjak kaget mendengar panggilan tiba-tiba itu. Tidak terasa ternyata waktu menunjukan jam makan siang, dan Karin memanggilnya untuk mengajaknya ke kantin bersama.

Karin juga tidak lupa untuk mengajak Renata yang kemudian keduanya telah berjalan berdampingan terlebih dahulu. Saat suasana sedang sibuk pada kegiatan masing-masing, ia lantas segera mengambil tindakan dengan buru-buru bangkit dari duduknya.

Rasa nyeri tidak tertahankan datang dari perutnya Hana karena wanita itu berdiri dengan tiba-tiba. Wajahnya meringis menahan sakit, bergerak dengan cepat lalu menyusul kedua sahabatnya yang sudah berdiri di depan lift.

"Han, gimana kabar suami kamu?" Renata mengajaknya bicara saat mereka bertiga sudah berada di dalam lift. Tentu saja tanpa maksud apapun karena tidak ada satupun orang yang tahu tentang kesusahannya.

"Baik kok dia. Ya begitulah." Hana tersenyum, mencoba untuk terlihat biasa saja.

"Hah, sayang banget kita engga bisa lihat muka suami kamu. Kapan-kapan kenalin dong, kamu nikah KUA tapi sama sekali engga pernah nawarin mampir kerumah." Omel Karin.

"Iya, iya."

Hana hanya bisa menggaruk tengkuknya, tersenyum mengangguk yang mereka tidak tahu bahwa itu hanya basa-basi semata saja. Karena tidak mungkin baginya untuk mengajak teman-temannya melihat kehidupannya yang berantakan. Hancur. Tanpa sisa.

Sekarang mungkin alasan Hana tetap hidup adalah untuk pergi ke kantor. Bertemu teman-temannya, mengobrol dan bergosip ria. Sama seperti orang-orang normal lainnya.

"Eh btw Rin, itu rambut baru ya?"

Renata dan Karin langsung terbawa arus topik baru yang Hana angkat. Sengaja mengalihkan pembicaraan, kedua temannya yang lain bahkan tidak sadar bahwa Hana tersenyum lega saat keduanya kini berpindah membahas rambutnya Karin.

Devil Doesn't BargainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang