🍁
Hana mengerjapkan matanya perlahan bersamaan dengan kesadarannya yang mulai bangkit. Pupil matanya mengecil, menyimpit, berusaha membiasakan diri dari cahaya yang tiba-tiba menusuk matanya.
Dengan mata yang berkedip-kedip cepat, pandangannya mulai terlihat semakin jelas secara perlahan. Gerakan mata Hana juga seirama dengan tubuhnya yang mulai memberikan respon, pelan-pelan bergerak-gerak kecil yang langsung disadari oleh Saski yang saat itu masih menggenggam tangan Hana.
"Hana~" Panggilnya pelan saat mata Hana sudah sepenuhnya terbuka.
"Eugh.." Lenguh Hana.
"Tiduran aja dulu Han." Omel Saski saat Hana terlihat berusaha untuk membangkitkan tubuhnya yang masih lemas.
Namun bukannya menurut, sepupunya itu dengan keras kepala tetap berusaha mendudukkan tubuhnya. Bagas juga akhirnya mendekat, ikut membantu Hana untuk duduk di ranjang pasien walaupun sudah dilarang Saski.
"Aku dimana?" Ujar Hana dengan pelan setelah akhirnya bisa memposiskan tubuhnya dengan nyaman. Meskipun begitu, kesadarannya yang masih sedikit linglung membuat Hana belum bisa memberikan penilaian terhadap kodisi sekitar.
"Kamu di rumah sakit sekarang. Kak Bagas yang nemuin kamu di halte, Han." Saski menjelaskan dengan sabar, menatap Hana sayu dan kahawatir. "Kamu engga papa? Kenapa bisa jadi kayak gini sih, Han?!"
Hana tertegun, melirik Saski dengan sayu kemudian berpindah pandang pada Bagas. Pria itu tersenyum kecil, membalas tatapan Hana dengan mata yang tidak pernah berpaling sedetikpun darinya. Terlihat tatapan khawatir disana dan Hana merasakannya, hal itu membuatnya tanpa sadar meremas selimutnya gelisah.
Begini lagi.
Sudah keberapa kali Bagas melihatnya dengan kondisi terpuruk seperti ini sehingga rasanya sudah tidak ada apapun yang perlu di tutupi. Hana menunduk, termenung sejenak, memutar kembali kenangan yang terjadi beberapa jam yang lalu.
Jadi begini akhirnya, dia beruntung ditemukan oleh Bagas dan bisa sampai di rumah sakit seperti ini. Namun Hana tiba-tiba menjadi bingung sendiri bagaimana cara menjelaskan hal ini kepada kedua orang itu. Saski dan Bagas terlihat terdiam, menunggu Hana untuk setidaknya memberikan alasan terkait apa yang terjadi sebenarnya.
"Han..." Panggil Saski akhirnya.
Sepupunya itu sepertinya tidak bisa sabar lagi menunggu Hana yang terlihat sedang bertengkar salam pikirannya, sehingga memutuskan untuk menggali informasi. Hana memilih bungkam, tidak mengatakan apapun sampai-sampai Saski gemas sendiri.
"Ahyana kamu—"
"Sas..." Sela Bagas yang memperingatkan Saski untuk tidak terlalu mendesaknya.
Bagas menggeleng pelan, meminta Saski untuk bersabar, karena bagaimanapun juga Hana baru saja terkena musibah dan Bagas tidak mau jika itu sampai membuat Hana trauma ataupun takut.
Dengan telaten dan penuh perhatian Bagas malah berjalan mendekati nakas di sisi lain ranjang pasien Hana untuk mengambilkan Hana segelas air putih. "Minum dulu, Han." katanya dengan lembut.
Hana menerimanya dengan ragu, mata mereka bertabrakan saling menyalurkan perasaanya satu sama lain, sampai pandangan itu harus terputus ketika Hana merasakan jari tangannya bersentuhan langsung dengan Bagas. Wanita itu terkejut dan langsung menunduk setelah mengambil gelas itu dengan cepat.
Terjadi keheningan yang lama disana, walaupun suara bising alat medis dan sibuknya para petugas kesehatan karena kondisi Hana yang saat ini masih berada di ranjang IGD untuk menunggu hasil pemeriksaan. Suasana hiruk piruk pasien dan tenaga medis yang mundar-mandir terdengar, tidak hanya Hana yang kini berdiam canggung, Saski pun yang merasakan suasana aneh kini hanya bisa menutup mulutnya rapat.
Tidak mau bertanya lebih lanjut setelah mendapat peringatan dari Bagas tadi. Apalagi Hana terlihat tidak berniat membuka mulutnya sama sekali jadi percuma rasanya walaupun ia memaksa.
Ditengah suasana yang aneh itu, gorden yang membatasi privasi ranjang Hana dengan yang lain terbuka, memperlihatkan seorang pria berjas dokter yang datang dengan seorang wanita yang sepertinya perawat. Kedua orang tersebut tersenyum menyapa, meluapkan kecanggungan yang terjadi dan Saski dengan cepat bangkit dari duduknya.
"Nyonya Ahyana Indari?" Kata dokter memastikan sambil membaca chart pasien yang dibawanya.
"Iya dok," Sahut Hana pelan.
Dokter tersebut mengangguk setelah mendapatkan verifikasi identitas, kemudian dengan ragu mulai membuka pembicaraan untuk menjelaskan hasil pemeriksaan Hana.
"Baik, jadi setelah dilakukan beberapa pemeriksaan singkat, untuk saat ini tidak hal yang membahayakan. Tetapi kalau melihat luka luar dan memar yang terjadi, saya sarankan untuk di rawat selagi dilakukan pemeriksaan lebih dalam untuk mencari tahu apakah ada luka dalam yang tersembunyi."
Mereka menghela nafasnya lega saat mendapatkan kabar baik itu, Saski bahkan sudah tersenyum lebar dan menggemam tangan Hana karena merasa bersyukur.
"Ah, tetapi ada hal yang kami temui diluar luka memar.." Dokter tersebut menjeda ucapannya, melirik pada Bagas dan Saski dengan canggung. "Siapa diantara kalian yang keluarga pasien?"
Sesaat Bagas tertegun, sadar bahwa keberadaanya tidak mempunyai kepentingan sama sekali disini. Dia yang merasa tidak memiliki hubungan lebih dari atasan dan teman dari Hana pun melirik Saski dengan cepat, dan dokter yang pandai membaca situasi kini memfokuskan pandangannya pada Saski.
Saski yang merasakan pandangan dari berbagai arah segera membuka mulutnya, "S-saya ekhem saya sepupunya. Suaminya belum bisa dihubungi jadi— itu, dokter bisa bicara dengan saya sebagai walinya."
Disaat Saski yang sedang menjelaskan dengan gagap tentang kondisinya kepada dokter, Hana tiba-tiba saja mengingat sesuatu saat sepupunya itu tidak sengaja menyebut kata 'suami' yang membuat Hana teringat dengan Reyhan.
"Baik, kalau begitu..." Dokter kembali menggantung ucapannya dan kini sudah berpindah melirik Bagas.
Dan dengan tanpa diminta, Bagas segera berbalik untuk pergi dari sana karena sepertinya perkataan dokter akan sangat penting dan rahasia.
"Anak saya?! Bagaimana dengan anak saya dok!" Seru Hana tiba-tiba sambil meraba-raba perutnya dengan khawatir.
Saski terkejut, begitupula dengan Bagas yang menghentikan kakinya saat hendak melangkah. Pria itu berbalik, menatap Hana dengan tangan yang bergetar seraya memegang jaketnya erat.
"Apa? kamu hamil, Han?!" Sela Saski dengan cepat, tubuhnya semakin mendekat kearah Hana dan menatap Hana seolah meminta penjelasan.
Namun Hana mengabaikan itu dan beralih menatap dokter dengan tajam, meminta pria berumur itu untuk segera menjelaskan sesuatu.
Bagas yang masih terkejut lantas segera mengembalikan kesadarannya, kembali berbalik melanjutkan langkah tanpa memperdulikan keributan yang terjadi dibelakangnya.
Samar-samar ia masih bisa mendengar suara kaget Saski yang meminta penjelasan, suara Hana yang panik dan suara dokter serta suster yang berusaha menenangkan mereka berdua.
Pada akhirnya Bagas kabur.
Tidak sanggup mendengar kalimat selanjutnya. Entah apa itu, tetapi dunianya kini bergetar.
Dari awal, semuanya hanya ilusi. Sebuah gambaran naif dari seseorang yang mencoba untuk memuaskan egonya sendiri. Berpikir dengan menghapuskan sedikit gambaran fakta dibelakangnya, bisa membuat dirinya merasakan kebahagian walaupun sejenak.
Melihat Hana bahagia, Bagas juga akan bahagia.
Munafik.
Pada akhirnya tidak ada kebahagian yang tersisa dengan melihat orang yang kita cintai bersanding dengan orang lain. Hanya ada pilu dan pengorbanan disana.
Dan Bagas benci mengakui kalau ia hampir saja melewati batas dan menghancurkannya.
🍁
Hehehe baru muncul🤭 semoga masih ada yang baca ya🥰
![](https://img.wattpad.com/cover/354779743-288-k325357.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil Doesn't Bargain
FanfictionWarning: 18+ (terdapat kekerasan dalam cerita, mohon tidak untuk ditiru) And just like before, i can see that you're sure.. you can change him but I know you won't. The devil doesn't bargain.. He'll only break your heart again It isn't worth it, dar...