Chapter 17

174 34 4
                                    

🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁


Hana mengigil.

Terpaku dan duduk menunduk di sebuah halte terbengkalai pinggir jalan. saat itu waktu menunjukan pukul 10 malam, sudah larut dan ia terlihat berantakan dengan seluruh luka ditubuhnya.

Hari ini di lari, kabur dari amukan Reyhan walaupun sempat menerima beberapa pukulan. Tangannya memeluk perut dengan sangat erat, mencoba melindungi kehidupan baru yang ia miliki.

Hana tidak menyangka, dirinya berpikir hari ini mereka akan baik-baik saja. Tersenyum, berbagi cerita, tetapi ternyata semua salah. Reyhan tidak berubah sama sekali, saat Hana marah ketika pria itu membicarakan keturunan mereka yang bahkan belum sempat Hana bisa beritakan.

Pria itu kesal, kesal dengan Hana yang tiba-tiba saja membentaknya dan berakhir lah makan malam mereka dengan suara pukulan, beberapa jambakan di rambut Hana dan juga seretan serta tendangan. Hana berusaha melindungi perutnya, mencegah bayi yang bahkan belum tumbuh itu disakiti oleh Reyhan.

Entah ia berhasil atau tidak, tetapi pikirannya sudah tidak karuan saat kini ia merasakan perutnya seperti diremas-remas.

Tuhan, Hana merasa sangat tidak berdaya. Semua keputusan, kesadaran dan kenaif-an membawanya pada situasi ini.

Dengan mata yang berkunang-kunang, sebuah mobil familiar berhenti di depan halte yang sepi, tak lama kemudian munculah Bagas yang berlari dari mobilnya untuk mendekati Hana.

"Hana?" Ujar Bagas memastikan, berjalan mendekat untuk memastikan sosok yang duduk tertunduk di halte adalah benar seseorang yang di perkirakannya. "Hana?! Kamu kenapa?" Lanjutnya dengan terkejut saat mengetahui bahwa itu benar Hana.

Bagas panik saat melihat beberapa lebam di wajah wanita itu, karena terlihat berantakan dan kesakitan, maka tanpa pikir panjang Bagas dengan cepat berniat membawa Hana ke mobil untuk mengantarnya ke rumah sakit. Sebelum Bagas sempat menyentuhnya, Hana tersentak mundur begitu merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya.

Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap Bagas dengan mata berkilau menahan tangis seperti orang ketakutan. Apalagi Hana sama sekali tidak mau melepaskan tangannya yang memeluk perutnya dengan erat.

Merasa bingung dengan kondisi Hana, Bagas yang khawatir pun segera mendekati kembali wanita itu dengan perlahan, merentangkan tangannya lalu menunggu Hana yang terlihat seperti sedang menilainya.

Dengan suara pelan dan bergetar, Bagas berkata, "Hana, ini aku. Bagas, Bagaskara atasanmu." Hana masih tidak mau menggapainya namun bola matanya sudah bergerak gelisah, terlihat sedang menilai sesuatu. 

Untuk itu Bagas kembali membujuknya, "Mas Bagas..." Bagas terlihat menjeda kalimatnya sejenak, "Temanmu?" lanjutnya dengan ragu.

Tidak jelas memang apa status mereka, tetapi dibandingkan atasan dan bos yang terlalu formal dan tidak sesuai dengan interaksi mereka selama ini, Bagas berani mengatakan mungkin untuk sekarang mereka bisa disebut teman. Walaupun masih dalam ranah saling menghargai, menghibur, dan bertukar pendapat.

Devil Doesn't BargainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang