Tangan yang Menuntun, Hati yang Berdebar

746 93 9
                                    

Naruhina canon story.

After the war.
Naruto milik Masashi Kishimoto.

.

.

🌷🌷🌷🌷

"Kadang, dalam keramaian, aku merasa paling sendirian. Tapi saat aku melihatmu, aku merasa ditemukan."
_______

Naruto mengerutkan kening.

Panggilan mendadak dari Kakashi?

Pasti ada sesuatu yang penting. Dengan kondisi tubuhnya yang masih seperti ini, mustahil dia akan mendapat misi baru. Ya walaupun hanya dengan satu tangan yang tersisa kekuatannya tetap tidak dapat diremehkan. Tetapi tetap saja kemungkinannya sangat kecil Kakashi akan memberinya misi.

Lalu, apa maksudnya?

Pikiran Naruto berkecamuk, mencoba menebak-nebak apa yang akan terjadi.

Untunglah, berkat perawatan dari Hinata kemarin, kondisinya sudah jauh lebih baik. Tubuhnya terasa lebih segar dan pikirannya lebih jernih. Apapun tugas yang diberikan Kakashi, dia siap menerimanya dengan semangat.

🌷🌷🌷

Kecuali jika dia memintanya untuk belajar.

"Aku tidak mau, Sensei!" Naruto merengek, wajahnya ditekuk. Kakashi hanya menatapnya datar, tak terpengaruh sedikit pun..

"Ini bukan negosiasi, Naruto. Menjadi Hokage bukan perkara main-main. Kau harus belajar keras sejak sekarang. Dan jangan lupa, tangan buatanmu sudah hampir selesai. Setelah itu, jadwalmu akan padat dengan misi." Kakashi menaikkan sebelah alisnya, seolah menantang Naruto untuk membantah.

Naruto mendengus kesal. Ia tahu, percuma saja berdebat dengan Kakashi. Sensei-nya itu memang keras kepala. "Besok saja, ya, Sensei?" rayunya, matanya berkaca-kaca.

"Tidak ada 'besok'. Sekarang juga." Kakashi menunjuk ke arah pintu dengan matanya. "Iruka-san sudah menunggumu."

Sebelum sempat berkelit lagi, pintu terbuka dan Iruka muncul bersama Shizune. Senyum lembut Iruka seketika memudar saat melihat ekspresi kesal Naruto.

"Naruto, kita harus pergi," ajaknya, tangannya sudah siap menarik lengan Naruto.

Naruto meringis. Dia berusaha melepaskan diri dari genggaman Iruka, namun sia-sia. Dengan langkah gontai, dia mengikuti Iruka keluar dari ruangan Hokage. Rasanya seperti anak ayam yang baru saja ditangkap dan akan disembelih.

🌷🌷🌷

"Naruto, ini serius!" Iruka menekankan setiap kata, suaranya meninggi. "Kau ingin menjadi Hokage, bukan? Jadilah sosok yang bertanggung jawab!" Iruka menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Bagaimana bisa kau membuang-buang waktu seperti ini?" lanjutnya frustasi.

Naruto mendengus. Dia meletakkan kepalanya dengan malas di atas meja sambil memejamkan mata rapat-rapat. "Setidaknya biarkan aku sarapan dulu, Sensei. Aku lapar," rengeknya, suaranya terdengar manja.

"Sarapan? Kau sudah terlambat berjam-jam!" Iruka menunjuk jam dinding. "Dan jangan harap aku akan berbelas kasihan padamu."

Naruto membuka matanya, menatap Iruka dengan tatapan memohon. "Tapi, Sensei... Hinata yang merawatku kemarin. Dia pasti khawatir kalau aku tidak ada di rumah sakit."

Iruka mengusap wajahnya, merasa frustasi. "Naruto, Hinata itu sibuk. Dia bukan pengasuhmu. Lagipula, mungkin saja Sakura atau Tsunade-sama sudah memberitahunya kalau kau sudah dipindahkan ke sini. Jika kau ingin makan, ayo ke Ichiraku."

[10] Sayonara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang