7.

264 31 15
                                    

Pertengahan semester kelas satu SMA Taekwang.

Setelah hampir frustrasi menahan diri dari ego, Eunsoo berakhir menyerah menjadi anak penurut. Kemudian mengisi kolom formulir pendaftaran klub seni menggambar. Kenekatannya  didorong oleh keyakinan bahwa ibunya yang sangat sibuk, tidak mungkin bakal mencecarnya soal kegiatan sekolah. Palingan hanya bertanya soal mendasar, "Bagaimana sekolah?" Selebihnya tidak perlu dicemaskan. Eunsoo yakin ibunya tidak akan pernah tahu jika ia memulai menggambar lagi setelah dilarang dengan asumsi kalau menjadi pelukis tidak akan pernah memiliki masa depan yang jelas.

Di mulai pada hari itu, Eunsoo menikmati kehidupan sekolah untuk pertama kalinya. Ia merasa bebas dan hidup setelah masuk klub menggambar dan memiliki teman-teman sesama pecinta seni.

Ia berangkat sekolah lebih bersemangat dari hari-hari sebelumnya. Lebih banyak tersenyum dan lebih banyak mengisi memoir mengesankan.

Sayangnya, Eunsoo melupakan bahwa segala kesenangan tidaklah terus menerus terjadi. Pasti ada saja kejadian yang menorehkan tinta merah.

Itu dimulai ketika ada tiga anak senior kelas dua menghadangnya di pintu masuk klub menggambar. Salah satunya cukup terkenal bernama Byuntaek. Mula-mula ia meminta Eunsoo untuk mengikutinya karena ada sesuatu yang akan dikatakan serius. Awalnya Eunsoo menolak. Tapi karena terus didesak, mau tak mau Eunsoo menurut.

Agak aneh sebenarnya seseorang yang hanya ingin bicara saja harus naik ke atap sekolah dulu. Di manapun harusnya tidak masalah, bukan. Didasari asumsi tersebut, Eunsoo meningkatkan kewaspadaan. Itu sangat diperlukan jika tindakan mengarah pada kekerasan.

Laki-laki bernama Byuntaek berada di tengah-tengah kedua temannya, mengepung Eunsoo. Ia menyodorkan tangan, memperkenalkan diri. "Byuntaek. Kau pasti sering dengar nama itu. Aku cukup terkenal soalnya."

Eunsoo sebenarnya sangsi membalas jabat tangan itu. Terasa tidak nyaman dekat dengan laki-laki yang punya aura percaya diri yang berlebihan. Tepatnya lebih condong sifat angkuh.

Tapi demi sopan santun, Eunsoo menerimanya. "Shin Eunsoo," singkatnya. Lantas segera melepaskan.

"Aku tahu. Karena kau terlihat imut dan manis, aku selalu ingat namamu dan gak sabaran pengin lihat kau setiap hari di sekolah. Jujur, kau beneran tipeku sekali dan aku yakin kau juga menyukai cowok keren dan tampan sepertiku. Kurasa aku sangat pantas jadi pacarmu."

Eunsoo menunduk dalam-dalam. "Maaf, aku sedang ingin fokus belajar. Sekali lagi mian." Lalu ambil langkah memutar, tapi salah satu teman Byuntaek mencengkeram lengannya. Mendorong Eunsoo kembali di tempatnya semula.

"Byuntaek belum selesai berbicara," imbuhnya kasar.

Giliran Byuntaek memegangi lengan Eunsoo. Tidak peduli ringisan mencetak sepanjang bibir gadis itu.

"Kau barusan menolakku tanpa kasih aku kesempatan buat menyakinkanmu? Kau gak sopan sekali main pergi saja." Byuntaek terlihat marah dan itu bikin remang leher Eunsoo.

"Aku tidak bermaksud melukai perasaanmu. Memang benar aku belum siap untuk hubungan pacaran karena ibuku menuntutku untuk mengejar nilai bagus, aku sungguh sangat menyesal."

"Klise banget alasannya." Muak mendengar Eunsoo, Byuntaek sudah hilang kesabaran.

"Kudengar kau anak haram, ya. Sok-sokan jual mahal segala. Harusnya tahu diri sedikit dong beruntung ada yang menyukaimu."

Sejak SMP juga begini. Ada saja ulah jahil yang datang kepadanya hanya untuk pasang wajah remeh dan menyumpah serapahi Eunsoo. Ia sudah berpengalaman menghindari segala jenis perundungan. Boleh jadi, ia cukup mahir meloloskan diri.

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang