15.

297 27 6
                                    

Semenjak kejujuran Hyunwook di taman Gyeongui, hubungan mereka membaik. Tapi tidak bagi Eunsoo yang masih tetap canggung. Ia memberi jarak sehari setelahnya—waktu tersisa masa libur Hyunwook. Kemarin itu mereka menyantap; sarapan, makan siang dan makan malam buatan Eunsoo berdua di pantry. Eunsoo terlalu kagok, merasa kalau membenci Hyunwook lebih gampang ketimbang berdamai. Berbeda dengan Hyunwook yang sejatinya seorang yang mudah bergaul pada siapapun, dapat dengan mudah beradaptasi. Riang seperti sifat aslinya, seakan-akan terkesan Hyunwook tidak punya masalah sebelumnya dengan Eunsoo.

Mereka berbicara santai—lebih tepatnya Hyunwook yang membeo. Eunsoo tetap masih membatasi diri. Melewati sisa malam terakhir, dengan menghabiskan waktu duduk di ruang tengah. Bukan mereka yang menonton teve, justru teve-lah yang menonton Hyunwook tengah mencoba kembali seperti dulu, meski tidak akan sama lagi.

"Kau makin mahir melukis," komentar Hyunwook selagi ia membuka-buka lembaran buku sketsa pada posisi duduk di atas sofa. Sementara sudut mata kadang-kadang melirik ke bawah di mana Eunsoo menekuk lutut bersandar pada kaki sofa, sedang menggambar sketsa wajah manusia.

Semenjak ia memutuskan menggeluti kecintaanya pada seni menggambar, setiap harinya Eunsoo nyaris menggambar di manapun ia mencari spot terbaik demi konsentrasi. Sehingga wajar apabila ia meletakkan sketsa sembarangan di mana-mana.

Pujian Hyunwook tidak berarti apa-apa. Eunsoo masih bergulat pada rasa tidak nyamannya. Selalu saja pikirannya dominan kalau Eunsoo dan Hyunwook kembali akrab adalah kesalahan. Sebab posisi Eunsoo seakan menjadi pihak ketiga yang seharusnya tidak pernah muncul lagi. 

"Aku sudah memikirkan untuk mencari flat."

Tenggorokan Hyunwook mendadak getir. Ia bisa menangkap maksud Eunsoo tanpa perlu bertanya mengapa.

"Kau sudah ada rencana untuk kembali berbaikan dengan ibumu?"

Eunsoo menengok lalu naik beberapa derajat di mana Hyunwook agak menunduk untuk melihat ke arah Eunsoo pada posisi meletakkan kedua siku di kedua paha.

Eunsoo menjawab. "Aku kadang menyesali sifat gengsi yang diturunkan ibuku."

Hyunwook tersenyum kecil. "Kalau begitu tetaplah tinggal di sini." Itu lebih kepada pengharapan daripada permintaan biasa.

"Mana mungkin aku menetap di tempat mantan yang sebentar lagi mau menikah. Leluconmu sungguh tidak lucu." Bahkan Eunsoo tidak membiarkan ekspresi yang berarti di wajahnya atau setidaknya akting tertawa. Ceplos saja mulut itu berkomentar tanpa peduli hatinya berdarah-darah.

Sedang Hyunwook kembali merasakan apa itu sakitnya dihantam realita secara tak kasat mata. Ia menghembuskan napas, mendadak sesak. "Apa tidak ada lagi rasa cinta untukku meski hanya sedikit saja?" Hyunwook terang-terangan. Betul-betul penasaran, juga berharap Eunsoo masih mencintainya. Paling tidak sedikit saja perasaan dulu masih tersisa.

Lewat bahunya, Eunsoo berjengit. Sifat blak-blakan Hyunwook dari dulu selalu saja menciptakan jantungan karena selalu di luar prediksi. Untuk waktu lama Eunsoo tak bisa menjawab. Ia menyembunyikan gurat wajah sedih di balik helai rambut yang menjuntai di kedua sisi. Hyunwook tidak melihat itu, hanya bisa mengamati ubun-ubun kepala Eunsoo dengan kesabarannya menanti jawaban.

Hingga mulut mungil Eunsoo membuka lirih. "Apa yang kau harapkan, Wookie. Pada perpisahan tak layak yang tidak mungkin meninggalkan kenangan indah. Bahkan jika kenyataan sebenarnya kau terpaksa menjalani pertunangan, aku rasa tidak pantas untuk berselingkuh di belakang tunanganmu yang meskipun kau tidak mencintainya."

Hyunwook hendak membantah, tapi Eunsoo belum selesai.

"Untuk itu." Eunsoo baru berani mendongak, menatap lekat wajah Hyunwook setelah yakin ia bisa mengatur raut wajah lebih dingin dan lebih menyakinkan supaya terlihat jujur. "Berhenti sampai di sini saja karena bukan tidak mungkin kehadiranku justru merusak banyak hal dari situasi ini."

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang