14.

255 27 7
                                    

Pada hakikatnya Eunsoo lupa jika seharusnya ia membenci Hyunwook. Belum ada kata maaf secara eksplisit untuk membangun kembali keakraban, namun gadis itu sudah mengizinkan Hyunwook seenaknya menggandeng tangan Eunsoo di tengah publik. Lebih-lebih balas memeluknya malah.

Eunsoo pikir, ia terlalu mendramatisir kerinduan pada ibunya sehingga ia merasa kalau tindakannya sudah sangat berlebihan dan ia malu sekarang terlihat lemah di depan musuhnya saat ini. 

"Telepon saja ibumu." 

Saran Hyunwook sangat diperhitungkan. Tapi bagaimanapun bagusnya sebuah saran, Eunsoo masih ragu untuk menghubungi ibunya. Melihat balasan wajah Eunsoo yang muram, Hyunwook sudah tahu kalau Eunsoo masih ragu dan gengsi untuk melakukannya duluan. 

Pasca mereka check out dari penginapan sepuluh menit yang lalu, Hyunwook membawa Eunsoo jalan-jalan di taman Gyeongui. Apa lagi kalau bukan cari udara segar. Dikelilingi pepohonan dan berkarpet rumput hijau adalah solusi termudah guna membuang penat.

Hyunwook rasa idenya sangat cerdas dan ia bangga itu kalau soal membuat Eunsoo merasa lebih baik.

"Dulu saat melihatnya pulang dalam keadaan mabuk, aku sangat membencinya dan cuma bisa memendamnya selama ini. Tapi setelah aku mabuk kemarin, aku jadi tahu perasaan apa yang dirasakan ibuku. Frustrasi. Selain itu, aku juga bisa merasakan masalahku hilang sekejap. Mungkin benar, ibuku tidak punya seseorang yang mengerti dirinya lalu melampiaskannya pada minuman keras." Eunsoo tertawa ironi. "Aku terlalu banyak menuntut sampai tidak tahu ibuku semenderita ini."

Genggaman tangan Hyunwook pada jemari Eunsoo mengerat. Mengerti betul, tanpa menghakimi bahwa Hyunwook pernah berada di posisi Eunsoo sebagai seorang anak yang masih terlalu muda untuk mengemban tugas berat. Anak yang saat itu getol menolak keras tanggung jawab yang dilimpahkan ayahnya, juga keputusan hasil rapat para pemegang saham saat itu ketika perusahaan ayahnya hampir kolaps. Yakni, menjadi seorang CEO di usia muda sekaligus menepati perjanjian pernikahan. Tapi pada akhirnya ketuk palu. Di satu sisi Hyunwook mulai mengerti keadaan ayahnya dan di sisi lain, ia berdamai pada takdir yang tidak dapat diubah. Meski sebetulnya ia masih membenci pada perjanjian pernikahan yang tak lama lagi akan berlangsung.

"Kau hanya perlu berani, Soo. Dengan itu kau tidak akan merasa menyesal."

Sejak mereka keluar dari mobil, Eunsoo lebih suka memandangi sepatunya. Namun mendengar nasihat yang sebetulnya klise saja, ampuh bikin Eunsoo menatap balik Hyunwook. Apalagi ketika pemuda itu menunjukan sikap tak biasa. Air mukanya berubah muram dan lagi matanya menyorot kelabu. Makin-makin membuat Eunsoo tersihir. 

Mengapa dia terlihat sedih? Seharusnya aku yang lebih sedih di sini. Bukan dirinya.

Eunsoo tidak punya kepentingan untuk bertanya mengenai perasaan pemuda itu, meski ia sangat penasaran.

Lalu sebuah senyuman kecil, Eunsoo terbitkan. "Aku akan mencobanya."

Sesederhana itu! Apalagi Hyunwook-lah yang memberi alasan rekahan indah pada bibir mungil itu di tengah  permusuhan yang gadis itu tawarkan. Bukankah Hyunwook merasa seakan ia telah menaklukkan dunia yang besar ini secara mudah?

Muram berganti senyuman lebar saat Hyunwook mengayunkan tautan jemari mereka 180 derajat dengan amat semangat. "Apakah ini tanda perdamaian?"

Kesadaran itu kembali. Di mana Eunsoo harusnya tetap menganggap Hyunwook seperti sampah. Kemudian ia mencoba untuk mengurai jemari. Sayang, tangan Hyunwook terlalu besar dan terlalu berotot. Tidak segampang itu melepaskan tangan mungil miliknya. Hasilnya cuma goyongan kaku yang tak berefek. Hyunwook tertawa renyah. Bukan Hyunwook sedang mengejek betapa lemahnya Eunsoo melawan Hyunwook secara fisik. Melainkan tindakan reaktif Eunsoo terlihat lucu acap kali dirinya marah. Pipi yang menggembung secara otomatis seperti ikan buntal. Bukannya membuat kesan mengintimidasi, sebaliknya lawan dibuat gemas. 

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang