4.

218 27 6
                                    

"Menarik juga tawaranmu itu." Eunsoo angguk-angguk sendiri. "Jika dipikir-pikir, dosamu terlalu banyak padaku dan perlu pembersihan. Anggap saja itu sebagai penghapusan dosa."

"Pokoknya ingat, ya. Aku mau tinggal di tempatmu karena tawaranmu itu. Selain itu jangan berpikir kalau aku ini sedang jual mahal, arachi ?"

Tentu saja segala omong kosong Eunsoo mental di telinga Hyunwook. Pemuda itu lebih fokus pada ponsel di genggaman guna membalas pesan masuk, lalu berperan menjadi penunjuk jalan melintasi koridor apartemen, sekaligus sambil menggeret koper.

Kesal sendiri diabaikan, Eunsoo cuma bisa melipat bibir ke bawah lantas menghentak keras di belakang Hyunwook bak anak kecil tantrum. Jangan lupakan segala umpatan kasar sedang ia urut satu-satu dalam hati.

Faktanya, Yichan di media sosial jauh berbeda dari kenyataan. Bagaimana bisa ia ceria saat membalas pesan dan sangat shibal di depan mata Eunsoo langsung. Apakah dia sedang berperan dengan dua topeng sekaligus? Sulit dicerna akal sehat. Tapi apapun itu, Eunsoo merasa tertipu mentah-mentah.

Hyunwook berhenti pada salah satu apartemen. Ia menekan nomor kombinasi. "2-1-6-6. Ingat itu." Hyunwook memberitahu.

"Hm." Eunsoo menggumam sambil lalu.

Ia mengikuti langkah Hyunwook. Melepas sepatu dengan sandal rumahan. Lantas memberi sedikit tur tentang tata letak dan segala hal yang perlu Eunsoo ketahui.

"Ini kamarmu." Hyunwook meletakkan koper Eunsoo di tengah ruangan yang minimalis dengan perabotan standar. Satu ranjang, rak, meja, kursi, lemari. Bagusnya ada pintu kaca penghubung yang bisa digeser dan di sana beranda berpagar serta dua tempat duduk busa. Ini bisa jadi spot yang bagus untuk menikmati cuaca Itaewon atau sekadar membaca buku.

"Sebenarnya ini kamarku. Berhubung kau di sini, aku mengosongkannya dan pindah ke kamar satunya. Kau bebas melakukan apa saja di kamar ini dan ruangan lainnya, asal jangan sekali-kali menyentuh kamar yang satunya."

"Kenapa? Karena itu kamarmu? Kau menyembunyikan video porno atau benda ilegal atau sesuatu yang sangat privasi? Kau tenang saja, aku sama sekali tidak tertarik pada apapun tentangmu." Eunsoo mengoceh. Niat terselubung, sih pengin memprovokasi dan cari gara-gara. Habis pemuda ini kebanyakan dosa dan perlu dibuat kesal supaya Eunsoo puas.

Hyunwook memandangi Eunsoo amat datar. "Bagus. Semoga kau tidak melanggar kata-katamu sendiri." Kemudian pemuda itu melewati bahunya keluar kamar.

"Omo Omo! Apa itu tadi? Apa dia sedang menggertakku? Padahal dulu dia sangat tergila-gila padaku, tapi lihat sekarang bagaimana bisa ia bersikap sangat arogan seperti ini?" Eunsoo menyusul Hyunwook yang melintasi ruangan lain.

"Semua peralatan masak ada, bahan makanan di kulkas lengkap, microwave, juicer, pemanggang roti, semua bekerja dengan baik. Kecuali kau berniat mengacau." Hyunwook menjelaskan pada Eunsoo diselingi dengan seringai remeh.

Eunsoo melipat lengan di dada. Lagaknya menunjukkan gestur amat kesal dengan pandangan Hyunwook. Seolah ia tidak becus dalam segala hal.

"Apa kau sedang mengeklaim diri sangat berjasa? Mentang-mentang kau menampungku, kau seenaknya meremehkanku? Kau tidak ingat kau duluan yang menawari, memberiku peluang untuk balas dendam dan sebagai bentuk permohonan maaf. Apa kau pura-pura lupa ingatan? Sehingga aku terlihat bodoh sekarang?"

Ini di luar kontrol Eunsoo. Saking kesalnya bahkan ia hampir menangis. Bagusnya ia lekas berpaling. Ia tak ingin kelemahannya dilihat pemuda yang dibencinya itu. Bisa sesumbar tujuh turunan nanti.

Malahan Eunsoo tidak menyadari sejak kapan pemuda itu berdiri menjulang di depannya. Cuma diam saja dan Eunsoo tidak sudi bertatap langsung. Posisinya yang cuma sejengkal, memaksanya membaui kayu pinus. Itu mengingatkannya pada momen pertama kali ia mengenal Hyunwook.

"Mian." Lalu Hyunwook ambil langkah mundur dua hasta. Suaranya terdengar amat rendah. "Aku akan jarang ke sini karena banyak urusan pekerjaan. Sementara ini jangan keluyuran sendirian. Kau akan tersesat di lingkungan baru. Tunggu sampai orangku datang untuk memastikanmu, baru kau boleh pergi keluar. Kalau ada apa-apa, hubungi aku seperti biasa."

Kepergian Hyunwook seakan melepas sumbatan di tenggorokan, sehingga Eunsoo bisa bernapas normal.

Sudah tidak ada Hyunwook, ia baru berani menyusutkan hidung dan menangis lirih. Ini sudah bukan perkara siapa yang salah dan benar lagi. Melainkan tentang bagaimana cara memperlakukan orang dengan baik. Ia berharap Hyunwook tidak pernah muncul lagi, kalau itu tidak terjadi, minimal pemuda itu mendapatkan karma.

***

Sejak hari itu, Eunsoo menjelma menjadi pengangguran sejati. Dulu, saat ia banyak kegiatan sekolah, ia mendambakan seharian rebahan di kamar tanpa melakukan apapun. Sekarang saat semua impian kecilnya terwujud, ia mengeluh betapa membosankannya tiga hari hanya melakukan kebutuhan dasar sebagai manusia. Mandi, tidur, makan.

Di posisinya rebahan di kamar, ia mengangkat ponselnya hanya untuk menggulir jari mencari pekerjaan di internet. Koneksi memang penting kalau ingin cepat kerja, nyatanya kehidupan sosialnya sungguh menyedihkan.

Gara-gara seseorang yang tidak menyukainya di kampus, menyebarkan rumor buruk tentang ibunya. Kehidupan perkuliahannya jadi hampa tanpa teman dekat. Sebab terlanjur dicap sebagai teman yang memberi pengaruh buruk.

Bagian itu sengaja Eunsoo tutupi dari ibunya. Tidak ingin wanita yang bertengkar dengannya lusa kemarin, kepikiran kalau anaknya kenapa-kenapa. Padahal Eunsoo terbukti paling mengerti dan berusaha tidak jadi beban, malah dituduh sebagai anak yang tak tahu diri hanya gara-gara melakukan sekali pemberontakan. Dunia memang tidak adil untuk Eunsoo.

Bahkan tidak ada satu pun pesan yang datang dari ibunya. Entah terlalu keras kepala atau gengsi meminta Eunsoo pulang. Atau Eunsoo benar-benar telah dibuang dan telah dicoret dari kartu keluarga. Pokoknya antara sedih dan senang, sih.

Eunsoo menurunkan ponselnya. Gantian menatap langit-langit serba putih. Apa yang dikatakan Hyunwook benar, pemuda itu tak lagi menampakkan batang hidung. Bukan berarti Eunsoo sedang memikirkannya. Dia hanya sedikit penasaran. Sejujurnya ia ingin sedikit tahu bagaimana pemuda itu melewati kehidupan pasca berpisah dengan Eunsoo.

Semesta memang sebercanda ini, mempertemukan mereka secara kebetulan lewat media sosial.

Eunsoo jadi teringat pernah membaca atau mendengar. Kurang lebih begini, bahwa ketika dua orang yang telah lama berpisah lantas semesta mempertemukan kembali, itu tandanya ada sesuatu yang belum selesai dan semesta sedang membantu menyelesaikannya.

Ini terdengar filosofis dan Eunsoo hampir gila, bisa-bisanya berharap Yichan bukanlah Hyunwook. Sehingga ia bisa kembali bertukar pesan seperti dulu tanpa merasa gengsi satu sama lain karena situasi kenyataan—terbongkarnya identitas asli.

_Shinchan_: Aku takut tiba-tiba kita gak bisa chatan lagi.

_Yichan_: Aku bakalan jamin kita chatan terus sampai tua bangka.

Eunsoo membaca kembali chat yang ia kirimkan kepada Yichan sewaktu melihat ibunya pulang mabuk bersama seorang pria brengsek. "Sampai tua Bangka apanya?" keluhnya. "Bohong. Sekali kesepian, tetaplah kesepian." Ia mengakui kalau ia amat menyedihkan sekarang.

Kemudian bel apartemen berbunyi. Eunsoo bangkit, tidak pernah bakal segugup ini. Apa itu orang suruhan Hyunwook atau Hyunwook sendiri? Konyol sekali kalau Eunsoo sedang gila mengharapakan seseorang.

Ia mengintip lewat interkom. Dua tebakannya meleset jauh. Hanya seorang gadis berpenampilan terbuka; crop top, dan rok mini dengan riasan cukup berani. Apa Eunsoo abaikan saja. Masalahnya, gadis ini gigih membuat penghuninya tak bisa abai karena penasaran akut.

Eunsoo akhirnya menyerah. Ia membuka pintu dan hanya melebarkan sedikit untuk dirinya memunculkan separuh badan.

"Kau siapa? Teman perempuan Hyunwook yang lain? Hyunwook ada? Aku sedang mencarinya. Nomornya tidak bisa dihubungi. Apa kau tuli, tidak satupun pertanyaanku kau jawab. Apa aku boleh masuk?"

Lantas tanpa Eunsoo mengizinkan, gadis itu seenaknya menerobos masuk, seakan orang itu sudah sering melakukannya.

[]

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang