1.

345 37 11
                                    

Eunsoo baru selesai memasak untuk dua porsi makan malam. Telur gulung dan daging sapi panggang. Katakanlah Eunsoo sedang melakukan penebusan atas sikapnya yang mencetuskan perang dingin antara dirinya dengan ibunya selama kurun seminggu belakangan.

Itu bukan tindakan kali pertama. Bukan karena Eunsoo anak yang durhaka, melainkan sosok ibunya yang problematik.

Shin Mina bukan seorang figur ibu yang baik. Ia melahirkan Eunsoo dari hasil hubungan seks bebas. Entah siapa ayah Eunsoo dari sekian pria yang pernah tidur bersamanya. Entah teman kantor atau orang asing yang tak sengaja bertemu di klub malam. Sebagai anak yang tidak tahu menahu dan tidak punya pilihan terlahir dari rahim wanita siapa, Eunsoo berhak menuntut seorang ibu yang baik dalam segala hal.

Sialnya, Shin Mina adalah orang yang sangat keras kepala dan sulit berubah. Contoh kasus ketika Eunsoo meminta ibunya berhenti minum, pribadi Shin Mina hanya bertahan selama dua hari saja. Setelahnya dia akan kembali pulang dalam keadaan mabuk. Begitu pula dengan penyakit mudah naksir ke sembarang pria yang baru dikenal. Eunsoo nyaris menyerah. Selain tidak tahu mau pakai cara apalagi buat menyadarkan ibunya, Eunsoo sudah jadi anak yang sering pasrah dan mengalah.

Tapi bagaimanapun buruknya watak Shin Mina, setidaknya ada satu yang masih Eunsoo syukuri, yaitu betapa bertanggung jawabnya Shin Mina menanggung seluruh biaya hidup hingga pendidikan Eunsoo semahal apapun. Tanpa mengeluhkan beban kerja seorang pekerja kantoran yang terkadang tak manusiawi.

Eunsoo melihat jam dinding menunjukkan angka delapan malam. Sementara makan malam sudah siap di meja makan. Ibunya sudah berjanji akan pulang lebih awal sesuai permintaan Eunsoo kemarin lusa. Eunsoo harap kali ini ibunya menepati janji.

Bel berulangkali meraung seakan ditekan paksa secara buru-buru. Bunyinya sayup-sayup masuk ke telinga menyadarkan Eunsoo hingga kepalanya yang semula terkulai di meja makan perlahan terangkat.

Matanya sayu menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul sepuluh. Astaga, ia berdiri panik begitu mendengar bel meraung. Ia berlari tak sabaran melintasi ruangan guna menyambut ibunya dan memberi sedikit omelan karena telah pulang telat.

"Eomma!" Di balik pintu yang dibukanya adalah penyebab senyum Eunsoo mendadak lenyap. Ibunya tidak hanya pulang dalam keadaan mabuk saja, ia juga bersama pria paruh baya yang memapahnya.

"Eunsoo." Mina mengerang. Ibunya terlihat kacau dan merah padam.

Eunsoo memberi ruang pria itu guna membawa ibunya masuk. Gadis itu mengikuti sampai ibunya di letakkan di ruang tamu.

"Anda boleh pergi, sisanya biar aku urus sendiri." Eunsoo hendak membawa ibunya ke kamar, tapi yang bikin Eunsoo tak habis pikir saat ibunya menepis tangannya dan malah mempertahankan pria itu tetap di sisinya.

"Jiwoo, kau sudah berjanji tidak akan meninggalkanku," erangnya kelewat manja. Sikapnya persis koala yang memeluk erat sebatang pohon.

Eunsoo mendengkus kasar. "Ibu bukan anak kecil yang bersikap kekanak-kanakan begini! Lepaskan tangan ibu dan pergi ke kamar!"

"Tidak mau! Kau tidak boleh memisahkan aku dengan Jiwoo!"

Adegan berikutnya, memperburuk kesabaran Eunsoo. Di mana Mina mendorong Eunsoo setelah usaha tarik-tarikan guna memaksa ibunya mau bangkit berakhir gagal. Eunsoo justru tersungkur ke lantai. Napasnya tersengal. Ia tak percaya bakal ditolak ibunya sendiri yang lebih memilih pria asing tersebut.

Lupakan impian makan malam yang damai. Hatinya tidak sanggup menampung sakit lebih banyak lagi, maka ia berdiri dan berteriak. "Lakukan apa yang ibu mau. Aku tidak akan peduli!" Begitu kekesalannya tumpah ruah bak gunung meletus, Eunsoo berlari ke kamarnya. Tuli pada panggilan si pria yang meminta Eunsoo tetap tinggal.

Pintu kamarnya ia banting kasar. Luruh, menekuk lutut lalu bersandar pada pintu guna menuntaskan tangis. Ini bukan soal periode datang bulan saja yang menghadirkan tingkat emosi labil, tapi juga tentang sebuah wadah tertutup yang sudah penuh lalu dipaksa diisi terus-menerus. Sampai pada titik di mana wadah itu tak sanggup menampung, akhirnya meledak dan isinya meluber ke mana-mana.

Seluruh hidup Eunsoo ia habiskan untuk membohongi diri sendiri betapa kuatnya ia hidup di bawah atap rumah bersama ibunya. Afirmasi setiap ia bangun pagi berulang di kepalanya mengatakan semua akan baik-baik saja kalau ia tak mengeluh. Kenyataan pahitnya, ia selalu tumbang dalam tangis diam-diam di balik selimut, lantas mengeluh betapa melelahkannya dia bahkan sampai terbawa mimpi.

Mengusap basah pada pipi, ia kemudian beranjak mengambil ponsel di meja belajarnya. Berniat menghubungi satu-satunya orang asing yang menjadi tempat pembuangan segala beban Eunsoo dan satu-satunya pula alasan Eunsoo bisa tersenyum kembali.

Kebetulan orang itu menghubungi Eunsoo duluan.

_Yichan_:Hari ini aku mendapatkan keberuntungan. Berkat doamu yang manjur, proyekku diterima investor besar. Sekarang kami sedang merayakannya.

Senyum Eunsoo terbit. Ia naik ke ranjang dan memeluk bantal. Ia perlu posisi yang nyaman untuk sebuah percakapan yang menyenangkan dan paling ia tunggu-tunggu.

_Shinchan_: Selamat!!! Sayangnya doaku tak semujur itu. Keberhasilanmu karena usahamu yang pantang menyerah bukan karenaku. Buktinya aku berdoa untuk diriku sendiri saja tidak pernah terkabul.

Ada jeda sekitar dua menit yang bikin Eunsoo harus gigit jari. Barangkali teman chattingan-nya sedang sibuk dengan relasi dan perayaan, sehingga Eunsoo tidak perlu berharap lebih karena dunia Yichan bukan tentang Eunsoo saja.

Eunsoo memutuskan untuk keluar dari ruang obrol. Membalas chat yang hanya sebentar, sudah membuatnya lega. Jadi, ia menata bantal dan selimut guna pergi tidur. Tapi dering dari ponselnya memaksanya bangun lebih cepat. Meraih kembali ponsel di meja belajar, notifikasi itu berupa balasan dari Yichan.

_Yichan_: Ada apa? Kayaknya kau lagi ada masalah? Ayo, ceritakan!!!

Eunsoo tertawa saking senangnya. Seakan bisa merasakan betapa antusiasnya Yichan menunggunya bercerita. Ia pun duduk dan menaruh bantal di posisi tegak di belakang punggung untuk bersandar.

_Shinchan_: Memangnya kau alat radar yang bisa tahu keadaanku? Bersenang-senanglah, temanmu bakalan kecewa kalau kau malah sibuk denganku.

_Yichan_: Mereka gak akan berani sama aku. Aku pentolannya di sini. Suka-suka aku mau ngapain aja. Ayo, cerita atau aku bakal datang ke mimpimu bawa sekarung tikus.

_Shinchan_: Datang aja ke mimpiku. Toh, aku gak takut tikus.

_Yichan_: Terus takut apa.

_Shinchan_: Aku takut tiba-tiba kita gak bisa chatan lagi.

_Yichan_: Aku bakalan jamin kita chatan terus sampai tua bangka.

Astaga. Yichan itu spesies langka yang punya selera humor yang receh. Bikin Eunsoo ketawa sendiri macam orang gila walaupun cuma lewat media sosial. Bagaimana kalau ketemu langsung? Barangkali Eunsoo jadi orang gila beneran.

_Shinchan_: Aku baru saja kesal dengan ibuku yang pulang dalam keadaan mabuk dan dia bawa pria baru lagi. Padahal aku sudah masak makan malam. Niatnya mau berbaikan, tapi dia menghancurkannya.

_Yichan_: Sekarang bagaimana? Kau sudah lebih baik?

_Shinchan_: Yap. Gara-gara kau berniat mau bawa sekarung tikus ke mimpiku, aku jadi ketawa.

_Yichan_: Ayo, kita ketemuan. Biar aku bisa hibur kau secara langsung. Sumpah rasanya aku pengin bawa kau jalan-jalan sambil makan es krim.

Jangan tanya kabar jantung. Sebab empat katupnya bekerja secara abnormal, menciptakan hentakan keras yang sakit namun menyenangkan. Sejujurnya ide Yichan sudah lama mengendap lama di kepala. Tidak menyangka saja Yichan yang bakal mengutarakannya pertama kali hari ini setelah setahun lamanya mereka berhubungan lewat jejaring sosial. Meski ide itu menggiurkan, Eunsoo nyatanya belum siap bertemu.

Tidak punya lagi ide untuk jawaban, Eunsoo membiarkan chat menggantung lantas Yichan ia tinggal tidur. Sampai-sampai wujud Yichan datang ke mimpi Eunsoo dalam bentuk pria tampan dengan membawakannya es krim lantas mengajaknya kencan menelusuri pinggiran sungai Han.

[]




One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang