Lima

96 13 2
                                    

Cowok bertubuh tinggi tegap itu pun turun dari sepeda motor setelah memarkirnya sembarangan di depan garasi. Ada sedikit keraguan saat dia melihat pintu depan, tapi akhirnya dia pun melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam. Dia menutup pintu dengan sangat hati-hati.

Saat melintas ruangan kerja papanya, dia melihat pria brewokan itu tengah asik bercumbu dengan seorang gadis yang keliatan enggak lebih tua darinya. Pria itu kaget mendapati ada seseorang yang memperhatikan nya dari liang pintu. Dia sontak mendorong tubuh gadis itu dan bangkit dari sofa tempat dia duduk. Rival ingin beranjak dari tempatnya berdiri namun dia tak mampu bergeming saat pria itu telah secepat kilat menghampirinya.

"Ingat pulang juga kamu," ujar Pak Dharma slenge'an. Mata pria itu memancarkan keangkuhan. Bibirnya yang gelap tersenyum sinis. Tubuhnya yang tegap dan wajah yang tampan sangat mirip dengan remaja yang berdiri menantang di hadapannya. Bedanya pria satu ini terlihat lebih parlente.

"Gue cuma mau ngambil baju," ujar Rival ketus lalu melangkah menuju lantai atas ke kamarnya.

"Mau tidur dimana kamu kali ini hah? Emang masih ada yang mau nampung kamu di rumahnya?" ujar Pak Dharma lagi dengan nada menghina. Tak ada jawaban dari atas. Pria itu bergumam sendiri sambil mengambil kotak rokok dari dalam sakunya. Diambilnya sebatang lalu dibakarnya. Dia tak beranjak dari situ, hanya berdiri menunggu Rival turun sambil menghisap rokoknya. Rival turun dan berjalan setengah berlari melintasi ayahnya tanpa menoleh sedikitpun.

"Memang susah punya anak enggak tau diri kayak kamu. Enggak usah kamu pulang-pulang lagi! Biar kamu mati kelaparan di luar sana!" teriak Pak Dharma. Rival semakin kencang berjalan menuju motornya. Dengan segera dikendarainya motornya keluar dari areal rumah.

***

"Lo mau sampe kapan kabur-kabur gini Val?" tanya Tio sambil memencet-mencet tombol remote TV. Rival terduduk lesu di sofa di sampingnya sambil merokok.

"Kenapa emang? Lo udah enggak mau nampung gue di rumah lo hah?" tanya Rival kesal.

"Bukan gitu Val. Tapi dia kan bokap lo," jawab Tio.

"Bodo'," ujar Rival ketus. Tio menarik nafas panjang.

"Lagian kenapa lo enggak tinggal sama nyokap lo aja sih, biar hidup lo aman damai dan tentram?" tanya Tio lagi. Rival menoleh dan menatap tajam ke arah Tio. Di dekatkannya wajahnya ke wajah temannya itu.

"Lo liat gue sekarang-" ujarnya pelan namun tegas, "-gue ini dibuang. Nyokap gue pergi saat gue lagi tidur dan abis itu enggak ada ngasih kabar sama gue sampai detik ini. Delapan tahun man, delapan tahun, lo bayangin aja! Mana gue tau dia sekarang ada dimana,"

"Lo gak nyoba nyari?"

"Nyari kemana pe'ak! Gue udah bilang gue enggak tau dia dimana. Entah masih di Indonesia kah, atau udah di Amerika sana kah.. GAK TAU GUE!"

Tio menelan ludah. Ada rasa kasihan dalam dirinya. Dia terpaku membayangkan dirinya di posisi Rival. Ngeri rasanya.

Malam itu Rival hanya berbaring di atas sofa sambil menatap langit-langit kamar Tio. Tio yang tidur di tempat tidur sudah tidur pulas, ngorok bahkan. Rival menoleh sebentar ke arah jam beker. Sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Jam begini biasanya Rival masih bekeliaran di jalan. Balap liar lah, nongkrong bareng anak-anak Serrivan lain, atau apalah. Tapi kali ini dia benar-benar ingin suasana yang tenang, di dalam kamar yang sunyi ini. Di jam dimana anak-anak baik sudah tidur di dalam kamarnya. Rival sontak teringat pada Luna. Dia pasti udah tidur, pikir Rival.

Tiba-tiba handphone Rival berdering membuyarkan lamunannya. Dia cukup kaget membaca nama orang yang tengah menghubunginya, Luna.

"Halo?" ujar Rival.

"Udah gue duga, pasti belum tidur," ujar Luna di seberang.

"Lo juga," ujar Rival tak percaya.

"Gue masih ngerjain tugas ini, banyak banget. Lo sendiri? Pasti lagi nongkrong ama temen-temen kan?"

"Enggak. Gue.. gue di kamar kok,"

"Oh. Insomnia?" tanya Luna.

"Iya,"

"Mau gue nyanyiin lagu nina bobo?" tanya Luna. Rival bergidik.

"Apa?"

"Mau gue nyanyiin lagu nina bobo enggak??" tanya Luna lagi. Enggak ada nada candaan di kalimatnya bahkan saat kedua kali diucapkan.

"Enggak ah, makasih,"

"Lagu nina bobo versi gue beda. Mau dengar?"

Rival tak menjawab. Hanya menunggu gadis itu menyanyikan lagu nina bobo versi dirinya itu. Terdengar di seberang suara grasak-grusuk seperti cewek itu sedang mengambil sesuatu. Setelah itu terdengar suara senar gitar mulai dirambas. Rival mulai mendengarkan dengan seksama. Suara gitar mulai dipetik dan menghasilkan suara yang merdu. Rival menerka-nerka lagu apa ini dan ternyata Luna menyanyikan lagu yang tak asing. Bukan lagu baru, lagu jadul malah.

Phil Collins yang judulnya True Colors. Suara Luna yang lembut membuat lagu itu kedengaran begitu mendayu di telinga. Tapi ada hal lain yang membuat Rival begitu terbuai. Dia teringat pada seorang wanita yang dulu pernah menyanyikan lagu ini untuknya. Mamanya. Sosok wanita itu kini memenuhi pikiran Rival. Dia sangat kangen. Kangen duduk sebagai anak kecil menyaksikan mamanya menyanyi di sampingnya sambil memainkan piano. Mamanya juga mengajarkan nya memainkan alat musik tersebut. Dulu dia sering menyanyi diiringi permainan piano mamanya yang adalah seorang pianis gereja. Sekarang, saat dia sudah bisa memainkan piano itu, tidak ada mamanya yang bisa diiringi nya bernyanyi.

Rival cukup lama larut dalam memori hingga Luna selesai melantunkan lagu tersebut.

"Halo?" ujar Luna. Lamunan Rival pun buyar.

"Halo,"

"Belum tidur juga?" tanya Luna kecewa.

"Belum. Suara lo enggak enak. Yang ada gue makin gak bisa tidur," jawab Rival.

"Ih gitu amat sih lo,"

Rival hanya tertawa kecil. Dia mendengar samar-samar Luna menggerutu pelan di seberang. Dia terlalu lelah hari ini, apalagi setelah flashback sekilas yang begitu menguras emosi tadi. Akhirnya dia pun tertidur.

GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang