Tujuh

95 10 0
                                    

Selama di lift, Rival hanya diam memandangi bayangannya yang kabur di pintu metal. Sejenak pikirannya teralih ke Luna. Luna adalah cewek yang baik dan manis; tingkahnya yang lugu, selera makannya yang aneh -menurut Rival- dan selera film yang cewek banget... Rasanya seperti berhadapan dengan sesosok anak kecil yang masih polos. Tiba-tiba hatinya merasa aneh, lidahnya mendecak menyadari bahwa itu bukanlah pertanda bagus. Apa dia mulai merasa gak tega dengan cewek itu?

Rival tahu rasanya tega? Dia melengos. Rival tidak tahu rasanya tega.

Mungkin bukan 'tega' yang tengah dia rasakan. Pikiran itu tiba-tiba datang, membuat dia bergerak tak nyaman. Tiba-tiba pintu lift terbuka, seorang cewek bertubuh tinggi langsing bak model masuk dan berdiri di hadapannya. Punggungnya sedikit disandarkan ke liang pintu lift.

"Natra?" ujar Rival kaget. Natra tersenyum. Tipe senyum ala Natra adalah senyum yang sering dipasang Scarlett Johansson saat berusaha 'memikat' seorang pria namun dengan tetap menjaga wibawanya.

"Keliatannya datenya berjalan lancar nih," ujar Natra.

Rival hanya tersenyum kecut.

"Berarti besok lo udah bisa nembak dia dong. Pas banget besok itu Valentine, jadi momennya bakal romantis banget," sambung Natra.

Oh, jadi karena Valentine makanya ada diskon besar-besaran itu? Rival menarik nafas panjang. Dia emang engga pernah mengingat tanggal Valentine.

"Lo yakin dia nerima gue?" tanya Rival. Pertanyaan ini asal aja keluar dari mulutnya. Dia tidak begitu berharap akan jawaban dari pertanyaan ini.

"Iya dong. Ini udah hampir tiga minggu. Masa' dia enggak ngerasain apa-apa selama ini," jawab Natra optimis.

Rival mengangguk-angguk pelan. Mereka diam beberapa saat seiring lift berbunyi lagi, menandakan mereka telah sampai di lantai dasar. Mereka berjalan bersama keluar dari lift.

"Gimana caranya lo ngebuntutin kita tanpa ketauan?" tanya Rival penasaran. "Gue sama sekali enggak ngeliat lo,"

"Gue enggak ngebuntutin kalian. Kan ada GPS," ujar Natra sambil menunjukkan smartphone nya.

Rival mengangkat sebelah alisnya. "Creepy banget lo," ujar Rival tersenyum tipis.

Natra hanya mengangkat bahunya. "Trus kenapa Luna enggak ada sama lo sekarang?" tanya Natra.

"Dia ketemu teman-temannya trus shopping bareng," jawab Rival datar.

"Oh," ujar Natra. Tiba-tiba dirasakannya sentuhan lembut di tangannya. Dia melirik kebawah, tangan Natra sudah menggenggam tangannya. "Gue pulang bareng lo ya. Tadi gue naik taksi kesini,"

Rival hanya memutar bola matanya lalu mengangguk. Dia tidak membalas menggenggam tangan Natra, tapi juga tidak melepaskan tangannya dari genggaman cewek itu.

Rival pun mengantarkan Natra pulang ke rumahnya. Natra memeluk pinggangnya dan kepala cewek itu pun disandarkan ke punggungnya. Rival benar-benar gugup, dia pun mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

Sepanjang perjalanan, Rival kembali terpikir dengan hal yang sebelumnya memenuhi pikirannya selama di lift. Apa dia tega menyakiti cewek sebaik dan semanis Luna? Eh tidak. Bukannya segala cara akan dia lakukan untuk menang? Tapi kali ini dia merasa ini bukan cara yang bagus. Apalagi Natra lah orang yang memaksanya melakukan ini. Apa cewek itu tak mengerti bagaimana perasaannya? Tapi Natra tak lebih seperti dia. Bahkan dia yang telah membuat Natra begini.

Natra turun dengan kesal dari motor Rival begitu mereka sampai di rumah Natra.

"Lo mau bunuh gue barusan?" tanya Natra ketus. Rival hanya diam. "Ya udah lo mending pulang sekarang. Lo capek kan? Gue juga," ujar Natra hendak meninggalkannya menuju ke dalam rumah namun Rival segera berujar,

"Gue enggak bisa ngelakuin itu," ujar Rival.

"Apa?" tanya Natra berbalik.

"Iya. Gue enggak bisa jadian sama Luna," ujar Rival tegas menatap cewek di hadapannya.

"Kenapa?" tanya Natra mulai kesal.

"Gue enggak bisa jadian sama cewek yang enggak gue suka," jawab Rival datar.

"Ini cuma pura-pura Rival! Kenapa sih lo keras kepala banget?" ujar Natra kesal.

"Gue mulai enggak suka lo maksa-maksa gue Nat. Gue punya cara sendiri untuk ngejatuhin Glance. Bukan dengan cara norak gini,"

"Dengan cara apa hah?" ujar Natra menantang "anak Glance itu udah enggak mempan dengan cara lo. Lagipula melibatkan antek bokap lo itu terlalu beresiko,"

"Lo sekarang udah kayak cloning nya Zoe ya,"

"Bukan. Lo yang ngajarin gue kayak gini. Lo yang ambisius banget sama kemenangan Serrivan. Sampe-sampe lo enggak pernah sadar dengan keberadaan gue, yang waktu itu masih berstatus cewek lo. Sekarang gue udah seambisius lo. Gue dukung semua mimpi lo untuk menang. Tapi kenapa lo yang jadi gak semangat gitu?"

"..."

"Kenapa lo diem? Lo mau bilang kalo gue manfaatin lo? Enggak Val. Apa sih pentingnya Serrivan buat gue? Dulu gue hampir mau keluar tapi lo larang gue. Dan sampe sekarang gue masih ada disini itu semua demi lo,"

"Tapi kenapa lo selingkuh?" tanya Rival membungkam mulut Natra.

"Lo mau tau kenapa gue selingkuh? Karena lo enggak pernah mikirin sedikitpun perasaan gue! Lo terlalu sibuk dengan semua ambisi lo,"

Rival terdiam. Dia merenung sebentar. Dia teringat bagaimana Natra dulu mengkhianatinya. Cewek itu selingkuh dengan orang lain yang tak dikenalnya. Dia bahkan tidak peduli siapa orang itu. Yang jelas dia memutuskan Natra saat itu juga. Tapi dia tak bisa menyangkali perasaannya. Jauh di dalam hatinya dia masih sayang pada Natra. Dia tau dia salah karena enggak pernah jadi cowok yang baik untuk Natra.

Dia menoleh pada Natra. Cewek itu tengah berusaha menahan air matanya agar tak keluar. Rival pun menarik tangannya agar tubuhnya mendekat. Rival memeluknya seraya membisikkan kata maaf. Cewek itu tenggelam dalam pelukannya sambil menangis.


GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang