Delapan

107 10 0
                                    

Luna berjalan santai menuju lokernya pagi itu. Dia tiba sangat awal di kampus. Sepanjang jalan dia memandangi kotak kecil berwarna biru tua yang dipegangnya dengan kedua tangan sambil tersenyum. Tibalah di depan loker, dia membuka pintu loker dan memasukkan kotak itu ke dalamnya.

Tiba-tiba pandangannya tercuri ke sebuah amplop berwarna merah yang ditempel di dinding lokernya.

Dia mencabut amplop itu dan melihat bahwa tidak ada nama pengirim tertulis disitu. Dia membalik amplop dan disitu ada sebuah tulisan sambung yang indah. Bukan nama pengirim, tapi kalimat:

Dibaca saat langit berwarna lembayung dan angsa berubah jadi putri yang cantik

Luna tidak begitu mengerti apa maksudnya namun dia tersenyum. Siapa yang mengiriminya surat ini? Salam pembukanya saja udah semanis itu. Luna akhirnya menunda membaca surat itu, seperti yang dipesankan si penulis surat. Mungkin dia akan membukanya saat senja, ya, senja adalah saat langit berwarna lembayung. Tapi apa maksud angsa berubah jadi putri yang cantik?

Luna memasukkan amplop tersebut ke dalam tasnya. Saat akan menutup tas, ponselnya berbunyi. Dia pun membuka lagi tasnya dan mengambil ponsel itu dari dalam.

Sebuah sms masuk berbunyi:

Only time

Luna mengerutkan alis. Dia lihat lagi nomor pengirim. Dia tidak mengenali nomor itu. Di tengah kebingungannya akan isi sms itu, tiba-tiba dia mendengar sayup-sayup lantunan piano dari auditorium yang tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Dia makin bingung namun hanya berjalan menuju ruangan itu. Sesampainya di depan pintu cokelat yang besar itu, Luna pun akhirnya mengerti. Ada seseorang di balik pintu ini yang sedang memainkan lagu "Only Time" milik Enya, lagu favorit Luna. Luna tersenyum, tak sabar ingin tahu siapa orang tersebut.

Dia pun membuka pintu. Auditorium itu gelap dan dingin. Namun di panggung, di bawah sana, seseorang sedang asyik bermain piano disinari sebuah lampu panggung. Luna tidak begitu jelas melihat wajahnya karena terhalang kap piano yang besar. Luna menuruni tangga perlahan, takut merusak konsentrasi orang tersebut. Luna mengira orang tersebut tidak tau akan kehadirannya.

Semakin dekat, Luna dapat melihat rambut orang tersebut berwarna kecokelatan berkilau di bawah sinaran lampu. Dan ternyata, orang itu juga sedang bernyanyi. Namun suaranya sangat lembut dan sengaja dibuat pelan. Luna berhenti di anak tangga terakhir dan menikmati lagu tersebut dari situ.

Cowok itu pun akhirnya selesai memainkan lagunya, lalu menoleh pada Luna. Dia tahu keberadaan Luna, jadi tidak ada segaris pun kekagetan di wajahnya saat melihat gadis itu.

Cowok itu tersenyum manis. Matanya yang cokelat memancarkan kehangatan yang membuat Luna seketika merasa ruangan ini tidak sedingin saat dia masuk.

"Kak Virgo," ujar Luna terharu.

"Suka nggak?" tanya cowok itu.

Luna mengangguk. "Banget. Kakak tau itu lagu kesukaanku,"

Cowok itu tertawa lalu mengajak Luna untuk duduk di sampingnya. Luna gugup dan menggelengkan kepala dengan sungkan. Namun Virgo terus membujuk. Akhirnya Luna pun menurut.

Luna mengamati tuts-tuts piano yang berjejer rapi di hadapannya. Dia selalu ingin bisa main piano, namun ternyata mempelajari alat musik itu sangat sulit. Itu sebabnya dia sangat mengagumi Virgo, maestro piano di kampus itu. Cowok itu bahkan telah menguasai alat musik itu sejak kedua kakinya belum sampai menapak lantai saat duduk di kursi piano.

"Lagu apa yang kita mau mainkan sekarang?" tanya Virgo.

"Eh?" gumam Luna sedikit kaget "Aku enggak bisa main piano kak,"

GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang