Tiga

87 13 3
                                    

Malam itu di pinggir Jalan Domestikasi. Cowok itu menghentikan motornya di depan sebuah kedai kopi. Dia masuk ke dalam dan mengambil posisi duduk menghadap jalan. Seorang pelayan menghampiri nya untuk menanyakan pesanan. Karena merupakan pelanggan tetap di kedai ini, Rival mengenal pelayan itu, namanya Yuza.

"Kopi hitam pahit," jawabnya.

Pelayan berrok pendek itu tersenyum lalu pamit untuk mengambilkan pesanannya.

Suasana kedai saat itu sepi, tidak seperti biasanya. Musim hujan begini biasanya orang ramai datang kesini menikmati secangkir kopi panas. Kedai ini memang terkenal dengan kopinya yang bercita rasa tinggi.

Cowok itu mengambil handphone dari sakunya mengingat sepanjang jalan tadi, benda itu terus berbunyi. Rival memang tidak suka berhenti di jalan hanya untuk mengangkat telefon atau membaca sms masuk.

Di layar tertulis 8 missed calls dari Natra. Bagi Rival, gadis satu ini seperti hantu. Satu waktu, dia mampu mengacuhkanmu selama yang dia mau. Dan di waktu yang lain, dia terus mengejarmu, gak peduli kamu udah resah atau enggak. Rival sangat tau tabiat nya, karena gimanapun juga mereka pernah punya hubungan asmara.

Rival memutuskan untuk menelepon balik. Di bunyi tut kedua, panggilan itu langsung dijawab.

"Halo? Lo kemana aja, kenapa dari tadi enggak ngangkat telfon gue?" jawab Natra dengan serbuan pertanyaan.

"Mau apa lo?" tanya Rival ketus.

"Lo enggak pernah berubah ya. Selalu ketus, bikin mood turun aja,"

"Lo juga enggak pernah berubah. Di saat lo ada maunya baru datang ama gue. Ya kan? Jadi apa mau lo sekarang? Sebaiknya langsung to the point soalnya gue lagi sibuk,"

Yuza kembali sambil membawa secangkir kopi di atas baki. Dengan perlahan dia meletakkan kopi itu di hadapan Rival. Saat tengah menyandarkan punggung, Rival tak sengaja melihat sepasang pria duduk tak jauh darinya tengah memperhatikan bokong Yuza dengan penuh nafsu. Rival lalu segera mengucapkan terima kasih dan mengisyaratkan Yuza untuk segera kembali. Yuza bingung namun dia menurut saja.

Kedua pria itu tertawa-tawa kecil sambil pandangan mereka tak lepas dari bokong Yuza. Mereka tercekat saat menyadari Rival tengah memperhatikan mereka dengan tatapan mata yang menusuk. Mereka segera beranjak dari meja dan berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kedai. Ternyata mereka sedang mabuk. Mereka membawa botol minuman keras bersama mereka. Mereka berlari masuk ke dalam gang di seberang jalan.

"Jadi gitu Rival. Gimana?" tanya Natra di seberang.

"Kedengarannya murahan," jawab Rival. Terdengar Natra mendecak di seberang.

"Ini bukan soal murahan atau enggak, Val. Lo pernah bilang kan, kalo kita ingin menjatuhkan seseorang, yang kita serang itu bukan fisiknya tapi perasaannya. Perasaan itu lebih lemah dibanding fisik,"

Rival merenungkan kalimat terakhir Natra barusan. 'Perasaan lebih lemah dibanding fisik'. Dia pernah mengalami itu, saat masih pacaran dengan Natra dulu. Dimana sosok gadis bertubuh langsing dan agak tinggi itu berhasil membuat dia yang bertubuh kekar menjadi lemah dan bertekuk lutut.

"Gue.. emang pernah bilang gitu ya?"

"Iya. Lo lupa ya?"

"Iya. Tapi kayaknya lo enggak pernah lupa ya. Pantes lo sering ngelakuinnya," jawab Rival meringis. Natra terdiam sesaat.

Rival menyeruput kopi sambil memandang keluar jendela. Jalanan sepi. Suram. Hanya ada satu lampu jalan menerangi kegelapan di seberang sana, di samping gang kecil. Seorang gadis muncul dari balik kegelapan dengan tertatih, berjalan masuk ke dalam gang.

GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang