Enam

122 11 5
                                    

"Da-dah Lun sampe jumpa entar sore ya. Jangan telat loh. Entar yang keren-kerennya keburu diborong orang laen," ujar Alice sambil melambaikan tangannya.

"Iya ini kan sale besar-besaran. Uhhh udah enggak sabar pengen shopping," Corrine menimpali dengan bersemangat.

"Iya.. kalian ini. Daahh," Luna juga melambaikan tangan. Alice dan Corrine mendahuluinya keluar kelas menuju gerbang kampus.

Luna berjalan santai menyusuri lorong kampus. Seperti biasa, dia lewat dari pintu samping. Disitu sepi, karena memang jarang yang pulang lewat dari situ. Saat Luna masuk ke belokan terakhir menuju pintu keluar, Luna dikagetkan oleh suara bisikan. "Psstt!!"

Luna menoleh, namun tidak ada orang. Luna mulai merasa aneh, tapi dia terus berjalan. Bisikan itu terdengar lagi. Kali ini Luna membalikkan badannya. Jantung Luna mulai berdetak tak karuan. Bulu kuduknya berdiri. Matanya mencari-cari ke sekeliling, tapi tidak ada siapa-siapa. Dia berbalik lagi lalu..

"Boo!" seseorang telah berdiri di hadapannya.

"Aaa!!" teriaknya sambil menutup mata. Kemudian terdengar tawa dan Luna perlahan membuka matanya.

Dia melihat perlahan dari bawah ke atas. Ah kaki orang ini menapak tanah, untunglah! Celana abu-abu. Dasi hijau dengan strip hitam. Hmm, bukan seragam kampusnya, tapi dia seperti tidak asing dengan seragam ini. Lalu, tato di leher yang tidak keliatan seluruhnya karena kerah jaket kulit yang tinggi.

"Rival?!" ujar Luna dengan mata membelalak.

Rival tertawa lagi. Kali ini lebih lepas dan kedengaran usil. Luna lantas memukul-mukuli tubuh Rival karena kesal, namun cowok itu menangkap kedua tangannya. Agar Luna enggak bete, Rival pun menggelitik-gelitik pinggang cewek itu.

"Udah Rival, ampun ampun!" pinta Luna sambil tertawa kegelian.

Akhirnya Rival pun berhenti menggelitikinya. Sekarang cowok itu malah menatapinya sambil tersenyum. Luna hanya tersenyum malu-malu lalu tersentak.

"Lo ngapain disini? Kalo anak-anak Glance pada liat gimana?" tanya Luna agak panik.

Rival berpikir sebentar lalu menarik Luna ke celah kecil di balik sebuah tembok. "Sekarang udah enggak keliatan kan?" tanyanya.

Luna masih tersenyum malu. Entah kenapa tatapan elang satu ini terasa berbeda kali ini. Lebih mirip ke sebuah godaan dibanding ancaman.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo ngapain disini?" tanya Luna. Jantungnya berdebar-debar. Jarak dia dengan tubuh Rival yang berdiri menghadapnya hanya beberapa senti. Aroma tubuh cowok itu pun memikat, menusuk penciuman Luna bak narkotika yang membuat akal buyar. Dia berdoa dalam hati agar Rival tak mendengar dentuman jantungnya. Tapi jantung itu benar-benar tak mau jinak. Dia memilih menatap lantai daripada menatap cowok itu. Takut Rival tau apa yang dia rasakan.

"Uji nyali aja sih. Seberani apa gue melangkah masuk ke kandang lawan," jawab Rival santai. Luna mendongak, kaget mendengar jawaban yang sungguh di luar ekspektasi.

'Hah? Kirain mau jemput gue' begitulah ekspresi wajah Luna berbicara. Rival tertawa lagi. "Engga. Gue mau jemput lo. Jalan yuk," ajak Rival yang sontak membuat Luna ingin melompat-lompat kegirangan. Tapi dia menahan kesenangan itu dengan hanya menjawab "Oh. Yuk,"

Rival mengintip sebentar ke balik tembok. "Ayuk, udah enggak ada orang," ajaknya sambil merangkul bahu Luna berjalan keluar dari situ.

"Lo mau kemana hari ini?" tanya Rival sambil melepaskan dasinya.

"Terserah lo sih," jawab Luna masih kikuk.

"Tolong pegangin," kata Rival sambil menyerahkan dasinya pada Luna. Luna menurut saja. Cowok itu menggunakan kedua tangannya untuk menghidupkan motor, jadi apa salahnya dia pegangkan dasi itu. Setelah mesin motor hidup, Luna pun naik dan duduk di jok belakang. Dia segan membuka tas Rival, maka dia menyimpan dasi itu di dalam tasnya.

GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang