Sepuluh

66 7 1
                                    

Hanya ada total lima orang dalam ruangan itu: seorang pria 50 tahunan dan temannya, seorang pemuda seumuran Rival, Rival dan Natra. Pemuda itu mempermisikan dirinya setelah melihat jam tangannya. Dia dan Rival pun melakukan fist-bumping sebelum keluar dari tempat itu, menyisakan empat orang di dalam. Rival hendak melanjutkan permainan biliar nya, stik sudah diarahkan dan siap menyodok bola kecil tak berdosa di tengah meja, tubuh sudah dibungkukkan, hingga handphone nya berdering. Natra yang berdiri di samping juke box mendehem.

Rival menegakkan kembali badannya, mengambil benda itu dari sakunya. Dia akan mendamprat si penelepon yang sudah menginterupsi permainannya, namun urung setelah melihat nama yang tertera di layarnya.

"Halo? Luna?" ujarnya hati-hati. Natra sontak memfokuskan perhatiannya ke arah cowok itu.

"Apa tawaran nge-date nya masih berlaku?"

Rival melirik sebentar ke arah Natra. "Lo dimana?" Luna pun memberitahukan lokasi dia berada. "Oke lo tunggu situ aja ya, 10 menit lagi gue nyampe," lalu dia menutup telfon.

"Lo mau kemana?" tanya Natra, menyerahkan jaket ke Rival.

Rival mengambil jaket dan langsung mengenakannya. "Taksi atau motor kecepatan tinggi?"

Cewek itu mendecak. "Taksi. Kabarin gue perkembangannya, ya. Lo harus jadian sama dia,"

"Gue bukan minion lo," bisik Rival ke telinga gadis itu sebelum bergegas menuruni tangga menuju parkiran.

Natra mendengus. "Di kamus lo enggak ada kata 'ya' kali ya?"

***

Rival menghentikan motornya begitu melihat sosok Luna yang duduk di bangku dekat air mancur raksasa. Wajahnya tertunduk, memandangi jari-jarinya yang terkait di pangkuannya. Cahaya dari air mancur jatuh tepat di atas hiasan kepalanya, memantulkan kerlap-kerlip warna-warni di antara kegelapan malam.

Luna mendongak begitu Rival kini tengah berdiri di dekatnya, melepaskan jaket kulitnya untuk melindungi bahu telanjang cewek itu. Cowok itu lalu duduk di sampingnya.

Keduanya hanya bertatapan untuk berapa saat hingga Luna akhirnya memeluk Rival.

Rival sedikit tercekat, namun akhirnya diangkatnya kedua tangannya dengan ragu untuk mengelus-elus punggung cewek itu.

"Makasih ya, udah mau datang," bisik Luna. Hangatnya nafas cewek itu menggelitik lehernya, lalu perlahan-lahan dan dengan lembut, dia melepaskan dirinya dari pelukan.

Rival hanya tersenyum. "Ada apa?"

Apa yang terpancar dari kedua mata Luna sedikit membingungkan Rival yang memang kurang peka sama perasaan cewek. Tapi dia tahu bahwa senyum yang dipasang Luna sekarang di wajahnya bukan senyum bahagia. Meskipun setiap senyum yang dimiliki cewek itu hampir sama manisnya.

"Gue minta maaf ya, karna udah nolak tawaran date lo," ujar Luna.

Rival tertawa kecil. "Gak masalah. Toh, gue enggak sepenuhnya ditolak kan,"

Luna tertawa, menggelengkan kepalanya. "Gue punya sesuatu buat lo,"

"Apa itu?"

"Lo tutup mata dulu,"

Rival pun menutup matanya, dan saat Luna menyuruhnya membuka matanya lagi, dia kini dihadapkan dengan sebuah kotak biru kecil di tangan Luna. "Apa ini?" tanyanya sambil menerima kotak itu.

"Buka aja," ujar Luna.

Rival pun membuka kotak itu, dan dua buah benda bulat kecil dengan corak American Eagle bertengger rapi di antara bantalannya.

GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang