Dua Puluh

27 6 0
                                    

Sesampainya di jalan besar, Luna menyetop taksi yang kebetulan lewat. "Pak, bandara ya," ujarnya.

Taksi pun melesat menuju bandara. Sepanjang perjalanan, Luna terus membayangkan wajah Rival. Saat dia marah, saat dia memasang wajah juteknya, saat dia tersenyum, tertawa.. semua itu membuat Luna senyum-senyum sendiri.

"Napa neng senyum-senyum sendiri?" tanya Pak supir tiba-tiba yang melihat dari spion.

"Ha-emm? Ee enggak apa-apa Pak," jawab Luna malu.

Supir taksi yang keliatan baik dan kebapakan itu lantas tersenyum. "Keinget pacarnya ya Neng?" tanya nya lagi.

Luna tertawa kecil. "I-iya Pak. Bapak tau aja,"

"Iya dong Neng. Bapak kan juga pernah muda," ujar Pak Supir tertawa.

Luna diam sesaat, merasakan debaran jantungnya makin tak menentu. Pipinya terasa panas, mungkin sudah memunculkan semburat kemerahan. Bibirnya tak bisa berhenti menyunggingkan senyum. "Oh ya Pak, agak kencengan dikit ya. Kalo enggak saya bakal kehilangan pacar saya,"

"Ah serius Neng? Oke kita balap ya Neng," ujar Pak Supir lantas menaikkan kecepatan.

"Oke Pak!" ujar Luna tertawa.

Luna pun tiba di bandara. Dia segera turun dari taksi setelah membayar ongkos dan berterima kasih dengan sangat pada Pak Supir. Dia berlari sambil matanya mencari-cari ke sekeliling. Luna melihat jam tangannya.

"Seharusnya belum take off sekarang. Masa' cepet banget. Mending gue tunggu sini aja deh. Mungkin Rival nya aja belum nyampe," ujar Luna pada dirinya sendiri lalu duduk di deretan kursi tunggu. Meskipun sudah duduk, tapi tubuh Luna masih belum bisa tenang. Matanya masih mencari-cari. Menit demi menit berlalu hingga dia merasa kantuk.

"Apa Luisa ngibulin gue ya? Ah enggak mungkin. Masa' dia bohong," batin Luna lagi. Dia pun berusaha tenang dengan menyenderkan tubuhnya. Matanya makin terasa berat dan kantuk makin tak tertahan. Dia nyaris tertidur hingga akhirnya seseorang tlah berdiri di hadapannya dan menyebutkan namanya. Luna lantas terbangun dan kaget mendapati Rival tengah berdiri persis di hadapannya. Dia lantas berdiri dan memeluk Rival.

"Luna, lo ngapain disini?" tanya Rival heran.

"Gue mau cegah lo pergi," jawab Luna. Dia lalu menatap Rival dalam-dalam.

Rival tidak bisa berkata apa-apa, kebingungan mewarnai wajahnya. "Lo tau darimana gue disini?" bisiknya. Bu Grace berdiri tepat di belakangnya. Dua buah koper berdiri diantara mereka berdua, dan ransel di punggung Rival.

"Luisa," jawab Luna. "Gue udah tau semuanya, tentang lo yang minta MacCornesack buat ngasih kita wild card ke final, tentang lo quit dari Serrivan. Rival, lo nggak bisa quit. Temen-temen lo butuh lo. Ini juga kesempatan besar buat Serrivan untuk mengembangkan karir ke internasional,"

Ketegangan di wajah Rival pun melembut, senyum tipis disunggingkan bibirnya yang agak gelap. "Gue nggak bisa lagi ada di Serrivan, Lun. Gue pingin mulai semua dari awal lagi. Gue bakalan transfer ke sekolah musik MacCornesack di London,"

Luna kini mengerjap-ngerjapkan matanya. "Serius?"

"Iya," jawab Rival tersenyum. "Beliau udah nyiapin serangkaian tes masuk dan showcase. Beliau pingin gue join male choir disitu, Magnificent United,"

Luna lantas memekik kegirangan. "Selamat ya. Semoga lo sukses disana,"

Rival mengangguk. "Lo juga ya. Gue denger Glance menang. Semoga sukses dengan rekaman nya,"

Kali ini giliran Luna mengangguk, senyum di wajahnya makin lebar. Namun, tiba-tiba pikiran itu datang. Kenyataaan bahwa Rival akan pergi jauh. Entah kenapa tiba-tiba hatinya merasa sakit. Dia bahagia untuk Rival, tapi juga sedih karena harus berpisah dengannya.

"Berarti sampai disini aja ya," gumamnya.

"Apanya?" tanya Rival.

"Yaa, semua ini... kita," ujar Luna.

"Kita?" Rival mengernyit. Luna mengangguk ragu. Rival tersenyum pahit. "Emang, 'kita' masih ada?"

Luna tiba-tiba jadi salah tingkah. Omongannya jadi tergagap, bahkan Rival tak bisa menangkap satu katapun yang keluar dari mulutnya. Hingga Bu Grace yang daritadi berdiri tak begitu jauh dari mereka, memanggil Rival sambil menunjuk layar monitor, bahwa mereka harus check in. Rival mengangguk mengerti. Wanita itu berjalan duluan setelah memeluk Luna dan mengucapkan selamat tinggal.

"Lun-"

Luna lantas memeluknya. Rival yang terkejut hanya bisa terpaku. Tangannya dengan ragu diangkat untuk mengelus punggung Luna. "Gue sayang sama lo,"

Hati Rival lantas terenyuh, diapun membisikkan ke telinga cewek itu: "Gue juga sayang sama lo,"

Mereka melepas pelukan, dan Rival bisa melihat Luna meneteskan air mata. "Sering-sering kabarin gue ya selama disana,"

Rival mengangguk. "Pasti,"

"Gue pasti bakalan sangat merindukan lo," ujar Luna, tawa sendu terbersit dari mulutnya.

"Gue juga," jawab Rival. "Tunggu gue balik kesini lagi ya,"

Luna hanya mengangguk. Dia tidak tahu berapa lama Rival akan berada di Inggris, dan dia tidak ingin tahu. Dia takut bila setelah mendengar total waktu Rival tak berada disini justru membuatnya semakin berat melepas cowok itu.

"Oh, ya, sebelum itu," Rival lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan kalung berliontin angsa itu. Cahaya dari batu rubi itu masih membuat Luna terkesima. "Ini barang lo kemarin ketinggalan,"

Luna tertawa, begitu juga cowok di hadapannya. Rival lalu memasangkan kalung itu di leher Luna untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya pun, Luna masih saja merasa getaran yang aneh dari kalung tersebut, seolah-seolah itu punya magi.

"Gue pergi dulu ya," bisik Rival. Luna hanya mengangguk, takut bila dia membuka mulutnya yang keluar bukanlah kata-kata, tapi isak tangis. Bagaimanapun, dia ingin Rival berangkat dengan hati yang lega, tanpa harus mengkhawatirkan dirinya.

Mereka pun berpelukan lagi untuk yang terakhir, kali ini lebih erat dan lama. Luna hanyut dalam kehangatan tubuh cowok itu, air mata masih mengaliri pipinya. Seusainya, Rival mengusapkan air mata itu dan mengecup keningnya.

Akhirnya, dengan berat, Luna pun merelakan Rival pergi. Dia memandangi sosok itu berjalan menjauh. Setiap derap kaki yang didengarnya, adalah bunyi dentuman jantungnya. Cowok itu menoleh sekali lagi untuk melambaikan tangannya, sebelum berbaur dengan kerumunan lain.

Tinggallah Luna sendiri di ruangan yang dingin itu. Separuh jiwanya telah direnggut dan dibawa bermil-mil jauhnya.

GLANCE #1: Mr. Eagle & Ms. SwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang