Sebelum mulai, jangan lupa untuk menekan bintang di sudut kiri bawah. Satu vote dapat memberi semangat besar bagi penulis ^3^
***
Setelah kewajiban apel pagi selesai dilangsungkan, seluruh siswa berhamburan meninggalkan halaman sekolah yang begitu luas—menuju kelas masing-masing tentunya. Namun, tak sedikit yang memilih untuk mampir ke kantin terlebih dahulu, sekadar membeli roti atau susu kemasan untuk mengganjal perut yang tak sempat sarapan.
Di antara ramainya siswa-siswi yang berjalan dengan langkah konstan untuk mencapai destinasi mereka, gadis dengan papan nama bertuliskan Sabhira Qaireen justru berjalan dengan langkah gontai. Siapa pun yang melaluinya selalu melempar tatapan menghakimi, karena langkah lambannya itu sedikit mengganggu mereka yang berada tepat di belakang gadis itu.
Sabhira tidak keberatan dengan segala tatapan menghakimi dari orang-orang. Baginya, pendapat orang lain tentang dirinya tidak begitu penting. Apalagi jika pendapat itu datang dari mereka yang tak mengenalnya dengan baik. Sabhira tidak ingin membuang energinya yang tak seberapa untuk membuat siapa saja terkesan. Lagi pula, manusia akan selalu menghakimi tak peduli mau sebaik apa pun seseorang.
Terkadang, moralitas dan etika untuk menggolongkan manusia ke dalam kategori baik dan buruk membuat Sabhira merasa muak. Karena bagi gadis itu, manusia adalah wadah dari keduanya—kebaikan dan keburukan. Tak seorang pun yang berpijak di bumi ini bisa dikatakan benar-benar baik, pun benar-benar jahat. Manusia menjalankan perannya sebagai makhluk Tuhan yang tidak sempurna, lantas mengapa mengharapkan puncak dari segala kebaikan dari seseorang? Lalu kecewa saat satu kesalahan dari orang tersebut mematahkan harapan yang terlanjur melambung tinggi. Sangat konyol.
Besar kemungkinan, setiap orang pernah berada dalam fase ini. Bingung menentukan manakah wajah yang sebenarnya. Sabhira sendiri seolah memiliki kotak penuh topeng di dalam hatinya, ia bisa mengganti topeng kapan saja—menyesuaikan dengan karakter seperti apa lawan bicaranya. Sabhira merasa tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri. Ia memiliki begitu banyak persepsi tentang siapa dia sebenarnya, terkadang merasa sangat baik, terkadang merasa terlalu jahat. Padahal semua itu adalah hal yang wajar, terutama karena dunia ini bukanlah sebuah utopia.
Pada akhirnya, manusia selalu melihat diri sendiri melalui mata orang lain. Menciptakan kontradiksi hebat dan mencegat naluri untuk melihat diri melalui mata sendiri.
"Sabhira! Gue duluan, ya? Tugas Matematika gue belum kelar." Sabhira mengangguk saja saat teman sebangkunya itu mulai melambung langkahnya dengan terburu-buru.
Mata pelajaran pertama biasanya dimulai pukul delapan pagi, dan itu masih sepuluh menit lagi. Jadi, Sabhira memutuskan untuk membawa kedua kakinya menuju mading. Perempuan pengagum sastra itu selalu suka setiap kali puisi kiriman warga sekolah diterbitkan di sudut seni dan sastra.
Kemarin, di hari senin—hari terbit mading—ia terlalu malas untuk ikut berkerumun di antara banyaknya siswa yang penasaran dengan artikel baru yang terpajang di sana. Makanya, saat ia melihat tidak ada siapa pun di depan mading saat ini, ia akhirnya menemukan semangat untuk melangkah dengan cepat. Matanya sudah tertuju pada sudut seni dan sastra yang berada di bagian kanan atas. Saat membaca puisi, Sabhira merasa seolah ia baru saja memasuki dunia baru. Diajak hanyut dalam bait-bait indah dari Sang Penyair, itulah mengapa ia sangat mencintai puisi.
"Karena dalam sebuah puisi, aku merasa hidup. Karena dalam sebuah puisi, aku menemukan diriku."
Sabhira mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, berusaha membaca puisi yang tertera di sana lamat-lamat. Judulnya saja sudah membuat ia jatuh hati.
"Mengejar detik waktu." Sabhira menyuarakan bacaannya. Lalu, saat ia mulai larut dalam keindahan kata demi kata pada secarik kertas itu, ia tak lagi berada pada lingkungan sekolah yang ramai dan berisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Teen FictionKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...