Selamat menikmati malam tahun baru, yorobuuunnn (^_^)
Jadi, apa resolusi kalian untuk tahun 2024?
Semoga semuanya bisa tercapai, ya. <3
***
Langit sudah berubah gelap, lampu-lampu jalan sudah bersinar menggantikan matahari yang telah karam. Namun, kesibukan anak Jurnalis di sekolah masih juga belum selesai. Saat Sabhira melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, jarum pendek sudah berada di angka tujuh. Ia sedang fokus melepas kertas-kertas artikel lama dari mading, agar artikel baru yang telah mereka siapkan bisa segera dipajang.
"Si Harya beneran kabur. Modal bantuin nge-print doang berasa udah paling berguna, awas aja tuh anak." Kiersha keluar dari pintu Lab. Komputer dengan wajah kusut, kedua jempolnya sibuk mengetik beberapa kalimat di ponselnya.
"Harya Janafi? Tadi dia udah izin ama gue, katanya ada urusan penting. Jadi gue kasih izin." Gadis berkacamata yang muncul dari balik punggung Kiersha menyahut pelan, ia merupakan kakak kelas yang menjabat sebagai Redaktur Pelaksana di Jurnalis.
Kiersha mencebikkan bibir dengan murung, "Harusnya jangan dikasih izin, Kak. Paling dia mau nongkrong." Yang diajak bicara hanya terkekeh singkat dan memutuskan untuk menghampiri Sabhira.
"Udah selesai semua, Ra?" Sabhira mengangguk dengan tumpukan kertas yang mengisi genggamannya. "Coba lo tanya anak-anak bagian keagamaan kalo materi mereka udah siap apa belum, kayaknya mereka ada di kelas X. Flamboyan."
"Oke, Kak." Sabhira sudah berlalu, langkahnya sudah ia bawa menuju kelas Flamboyan. Namun, ia berhenti dan segera memutar badan.
"Kak." Yang dipanggil hanya menyahut tanpa menoleh. "Aku boleh simpan puisi karya Langit ini, gak?"
Jeda. Sabhira menunggu dengan sabar selagi sang Ketua berpikir sejenak.
"Boleh aja, tapi jangan yang itu, Ra. Soalnya itu bakal jadi arsip di perpus nanti, kalau lo mau, ambil kertas asli yang dikirim langsung dari Langit melalui kotak saran."
"Kumpulan kertas dari kotak saran masih lengkap, Kak?" Nada suara gadis itu menjadi antusias. Pikirnya, justru lebih bagus lagi kalau mengambil kertas asli. Jadi dia bisa melihat langsung tulisan tangan seorang Langit—nama samaran dari siswa yang puisinya selalu lolos terbit di mading.
"Masih, kok. Bahkan dari bulan lalu juga masih ada semua, coba lo cek aja di ruang penyimpanan Jurnalis di sudut Lab." Senyum sumringah menghiasi wajah Sabhira. Gadis itu sudah hendak masuk ke dalam Lab. Komputer kalau saja Kiersha tidak menahannya.
"Eh! Enak aja, tadi lo disuruh apa coba? Main lepas tanggung jawab aja lo." Omelan itu membuat Sabhira menepuk jidat.
"Oh, iya. Kalo gitu lo yang urus bagian arsip, ya?" Tanpa basa-basi Sabhira menyerahkan tumpukan kertas di tangannya pada Kiersha, lalu secepat mungkin bergegas menuju kelas X. Flamboyan sebelum sahabatnya itu mencak-mencak sebagai aksi protes.
"Lo sama Harya tuh gak ada bedanya tau, gak? Ngeselin," teriak Kiersha tanpa mendapat respons. Sabhira sudah menghilang di balik pintu kelas Flamboyan—tak jauh dari Lab. Komputer.
Sabhira tahu bahwa kelas itu adalah kelas yang dihuni oleh Arkana, pemuda yang sampai saat ini masih membuatnya menyimpan rasa penasaran. Jadi, ia memiliki misi lain ketika masuk ke dalam ruangan itu. Bukan hanya untuk menengok tim keagamaan, tapi ia juga ingin mencari meja Arkana. Biasanya, kondisi meja seseorang bisa menggambarkan pribadi seperti apa pemiliknya, sebab itulah Sabhira ingin mengambil kesempatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Teen FictionKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...