10 | Terbelenggu Lara

76 14 3
                                    

Langkah ringan beberapa siswa yang kini tengah menyusuri koridor menuju kelas menjadi kegiatan yang mungkin terasa membosankan bagi mereka. Masing-masing memiliki masalahnya sendiri; ada yang belum mengerjakan tugas, ada yang kehilangan buku catatan, ada yang sedang komat-kamit menghapal materi presentasi, ada yang malas untuk memenuhi tugas piketnya, dan banyak lagi yang hanya mereka tampung dalam kepala mereka sendiri.

Masalah-masalah itulah yang acapkali mereka anggap cukup membebani kehidupan yang ingin mereka jalani dengan begitu santai. Padahal, ada ribuan orang dewasa di luar sana yang rela menukar apa pun demi bisa merasakan kembali yang namanya masa remaja.

Sedikit berbeda dari kebanyakan siswa, Harya justru terlihat gembira saat meninggalkan tempat parkir sambil memutar-mutar kunci motor di jari telunjuknya. Berjarak lima langkah di depannya, ada Arkana yang terlihat berjalan santai menuntun diri menuju kelas mereka. Ia menengok ke atas, awan putih di sana seolah berarak mengikuti setiap langkahnya. Bibir tipis itu akhirnya merekah dengan kedua kaki yang kini memutuskan untuk menetap. Ia berdiri tepat di halaman terbuka dengan kepala yang terus menengadah memandang nabastala.

Pernah ia berpikir untuk menjadi seorang pilot agar bisa senantiasa mengudara di angkasa, mengolok-olok bumi dari atas sana karena telah merenggut sebagian bahagianya. Namun, Arkana sudah cukup lelah berkelahi dengan diri. Sehingga ia mulai menolak untuk menyalahkan keadaan atas semua duka lara yang bersarang di hatinya.

"Sepertinya menerima dengan ikhlas rencana Sang Ilahi merupakan satu-satunya hal yang dapat kita lakukan agar mendapatkan ketenangan, karena kehidupan yang cuma satu kali ini terlalu berharga untuk dihabiskan dengan membenci takdir." Monolog Arkana terdengar oleh Harya yang berjalan tak jauh di belakangnya, kini pemuda itu ikut memberhentikan langkah kakinya tepat di sebelah Arkana. Ia ikut menjelangak pada gumpalan awan yang menggantung di langit pagi.

"Ada beberapa hal yang memang sukar untuk kita terima, Na. Dan menurut gue, sedikit membenci takdir yang enggak kita inginkan itu manusiawi. Tapi lo harus tahu, kalo dengan membenci takdir ... gak akan ngerubah apa pun yang udah terjadi dalam hidup." Ucapan yang keluar begitu saja dari mulut Harya itu sukses membuat netra Arkana kini terfokus pada wajah serius seorang Harya Janafi—manusia absurd kelas X. Flamboyan.

Tatapan tak percaya terpancar begitu terang dari dua manik kecokelatan Arkana.

"Jangan ngeliatin gue kayak gitu, lah. Jatuh cinta lo ama gue?" Harya mendorong pipi Arkana agar segera memalingkan tatapannya ke tempat lain. Segera ia memboyong diri untuk mendahului langkah kaki Arkana ke tujuan awal mereka.

"Najis!" seru Arkana seraya menyusul Harya yang sudah melaju beberapa langkah di depannya.

Setelah beberapa detik diisi dengan saling diam, Arkana akhirnya kembali menyahut. "Tapi mengenai ucapan lo tadi ... gue seratus persen setuju."

Harya memelankan langkahnya agar bisa beriringan dengan Arkana, menunggu kawannya itu melanjutkan ucapannya.

"Takdir nggak pernah membenci kita, ia justru dihadirkan agar hidup ini ada maknanya. Jadi, emang nggak ada gunanya membenci dan meratapi suratan yang tidak sesuai dengan keinginan kita, toh, kita nggak punya kuasa buat ngerubah apa-apa yang udah terjadi." Arkana mengembuskan napas berat dan merangkul Harya cukup erat.

"Yang bisa kita lakukan cuma terus menjalani hidup. Sebab apa pun yang datang mendera, kelak akan terlalui juga. Entah dengan cara mudah atau sulit, entah dengan memperoleh banyak luka atau berlalu tanpa duka."

Langkah kaki keduanya kini telah mengisi koridor kelas sepuluh, Harya berusaha menutupi senyum bangga yang terlukis di wajahnya. Ia tidak ingin menunjukkannya terlalu jelas dan membuat Arkana jadi besar kepala.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang