06 | Resistansi Seorang Pengecut

86 15 16
                                    

Selamat merayakan hari bahagia, dan selamat menikmati hari libur juga buat teman-teman yang kebagian hari libur ^_^

Di tanggal spesial ini, mampir ketemu Arkana dulu, yuk!

***

JREENG JREENG!!!

"Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga. Hai, begitulah kata para pujangga ...."

Genjrengan gitar dari Harya mengalun cukup nyaring memenuhi kamar Arkana, suara merdu pemuda itu melantunkan lagu dangdut yang belakangan ini sering ia dengarkan bahkan saat sedang mandi. Harya tidak pernah merasa malu meski selera musiknya acapkali dijadikan bahan ejekan oleh beberapa teman di sekolah. Pada era di mana lagu pop luar negeri menguasai telinga anak muda, Harya justru memilih untuk tetap mencintai lagu dangdut. Bagi Harya, cengkok lagu dangdut itu sangat indah. Tempo, ritme, serta nada yang harus ia olah untuk menjadi sebuah harmoni yang pas membuatnya merasa sangat hebat. Itulah mengapa ia lebih sering menyenandungkan lagu dangdut dibanding lagu pop lainnya.

Pemuda itu sesekali berhenti untuk memutar tuner agar menghasilkan nada yang tepat. Gitar akustik milik Arkana memang sudah cukup tua, karena merupakan gitar milik Bapak yang dibeli saat beliau masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah dulu. Arkana sendiri belajar gitar dari Bapak saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar, usia yang cukup dini untuk menunjukkan minat pada instrumen musik. Namun, Bapak mendukung keinginan Arkana dan mengajarkan dengan sabar semua kunci dasar gitar pada putranya. Arkana yang dulu masih berusia sebelas tahun merupakan anak yang cepat belajar, ia memahami dengan mudah bagaimana jemarinya harus bekerja untuk menciptakan kunci gitar yang sesuai.

Mengapa Arkana memilih untuk jatuh cinta pada musik, pemuda itu memiliki alasan yang cukup spesifik. Ia suka bagaimana sebuah instrumen bisa mengiringi puisi yang ia tulis, menjadikan barisan kata yang memiliki nilai keindahan itu terdengar jauh lebih teduh. Lebih bermakna. Ia percaya bahwa kemagisan sebuah puisi dapat lebih hidup dan menyentuh perasaan seseorang apabila dibarengi dengan petikan gitar yang lembut. Ujung-ujung jemari yang berkolaborasi dengan setiap senar menciptakan melodi yang saling terikat, merengkuh syair-syair yang di dalamnya mendeskripsikan segala rasa. Segala asa.

Arkana yang baru saja keluar dari kamar mandi di dekat dapur langsung tersenyum begitu mendengar suara Harya menyanyikan lagu dangdut andalannya. Sudah hampir pukul delapan malam, pemuda itu sadar ia menghabiskan waktu lama untuk mandi. Jadi ia memutuskan untuk segera melangkah hendak memasuki kamarnya.

"Lo bisa, nggak? Nyanyi lagu pop? Bosen juga gue denger lagu dangdut." Begitu Arkana melalui pintu kamarnya yang dibiarkan terbuka lebar, bau sabun anti bakteri yang marak di televisi seketika menguar memenuhi penciuman Harya. Pemuda itu terdiam, suasana menjadi hening begitu saja. Tanda bahwa hadirnya seorang Harya memang selalu mampu menjajah rasa sepi. Pemuda itu duduk bersila di atas kasur Arkana sambil memangku gitar, tas ranselnya ia letakkan di atas meja belajar.

"Bisa, lah. Gue pikir-pikir dulu lagu apa yang cocok buat lo."

Arkana tak mengindahkan ucapan Harya, kedua tangannya kini sibuk memilah-milah beberapa kemeja berlengan pendek dalam lemarinya. Ia sudah lebih dulu mengenakan baju kaos dan celana pendeknya di kamar mandi, karena ia tahu Harya sudah nongkrong di dalam kamarnya bahkan sebelum ia bergegas mandi. Rambutnya yang masih setengah basah itu ia biarkan begitu saja, tanpa ada niatan untuk mengeringkannya menggunakan handuk yang tersampir di bahu kanannya. Selagi jemarinya terus menggeser gantungan baju dengan mata yang menilik begitu teliti, Harya mulai memetik senar gitarnya. Entah apa yang memenuhi kepala Arkana sampai ia begitu lama memilih pakaian, padahal sebenarnya ia tak punya begitu banyak pilihan di sana.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang