"Sabhira!"
Gadis itu menoleh ke arah sumber suara. Saat ini ia sedang berdiri dalam baris antrian untuk memesan makanan di kantin. Ia mengenali siapa pemilik suara yang menyerukan namanya, pemilik suara dengan nada melengking itu adalah Kiersha.
"Di sini, Ra!" Kiersha mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan melambaikannya pada Sabhira. Karena keadaan kantin sedang ramai-ramainya di jam istirahat, Sabhira nyaris kesulitan mencari keberadaan sahabatnya itu di antara banyaknya siswa berseragam lengkap.
Sabhira ikut melambaikan tangannya. Di sebelah Kiersha, ada Harya yang sedang melambaikan tangan sambil menenggak air mineral kemasan tanpa menggunakan pipet. Aneh rasanya melihat mereka hanya berdua saja, biasanya Harya tidak memisahkan diri dari dua kawannya—Arkana dan Respati.
"Duduk di sini, ya?" Sabhira hanya menganggukkan kepala menanggapi ajakan itu, sebab orang di depannya kini sudah melangkah maju.
"Sabhira sendirian aja? Biasanya ditempelin Noah," komen Harya sembari menyendok nasi goreng dari piring makannya menggunakan kerupuk. Bunyi gurih dari kerupuk yang hancur menghampiri telinga Kiersha selagi Harya mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Enggak tahu, mungkin Noah makan bareng anak-anak basket." Kiersha merobek selembar tisu gulung yang tersedia di atas meja untuk menyerahkannya pada Harya.
Pemuda itu bergeming kebingungan, ditatapnya tisu di tangan Kiersha tanpa ada niatan untuk menerimanya.
"Ada nasi di pipi lo, tuh." Mendengar hal itu, Harya lantas mengusap pipi kanannya menggunakan tangan kosong.
"Yang ini, Har!" Dengan sedikit emosi, Kiersha langsung mengusap pipi kiri Harya dengan kasar menggunakan tisu. "Tuh, dua biji pula."
Harya hanya bisa nyengir saat Kiersha melempar remasan tisu itu tepat ke wajahnya.
Di satu sisi, Sabhira yang baru saja menerima pesanannya terlihat kewalahan. Kuah bakso dalam mangkuk beralaskan piring plastik kecil di tangannya terlalu penuh, bisa ia lihat kuah gelap itu kian merembes keluar dari mangkuk dengan logo ayam jantan di permukaannya.
"Need some help?" Tanpa sempat menjawab, dua tangan itu kini meraih mangkuk dari genggaman Sabhira. Dari suaranya saja Sabhira sudah bisa memastikan bahwa pemuda itu adalah Noah. "Lo mau duduk di mana?"
"Eh? Di sana, bareng Kie—" Ia terhenti saat matanya menangkap sosok baru yang kini membersamai Kiersha dan Harya. Sosok dengan senyum menjerat itu terlihat baru datang dan langsung mengambil salah satu kerupuk dari piring makan Harya. Itu Arkana. Senyumnya semakin lebar saat Harya mendorong bahunya, karena bagi Harya kerupuk adalah pelengkap yang harus ada kalau makan nasi goreng.
"Bareng Kiersha?" Noah melanjutkan ucapan Sabhira dengan nada memastikan. Gadis di sebelahnya itu hanya menganggukkan kepala tanpa memutus pandangan dari paras rupawan tak jauh di depan sana.
"Tadi gue makan di kantin dekat perpus bareng anak basket. Terus ke sini buat nyariin elo, ternyata beneran ada." Noah mengambil langkah pertama untuk membawa mereka mendekati meja tempat keributan Harya berasal. Sabhira tersenyum ramah menanggapi ucapan Noah, membuat pemuda itu mau tak mau ikut tersenyum simpul sambil menahan panasnya kuah bakso di ujung jemarinya.
"Jadi, lo udah makan?" Sabhira bertanya asal. Dalam hati ia merutuk diri karena merasa pertanyaan konyol itu sangat bodoh. Tentu saja Noah sudah makan.
Manis senyum Noah kian merekah. Menurutnya, Sabhira terlihat sedang salah tingkah. Dan itu menggemaskan. "Udah dong, Ra. Baru aja gue bilang tadi." Sabhira merespons dengan menggaruk kepalanya dengan raut canggung.
"Eh, ada Noah. Gue kira lo bareng anak basket." Sapaan Harya yang pertama kali memecah kecanggungan di antara keduanya begitu mereka tiba.
"Pas selesai tadi gue langsung ke sini. Liat aja, nih, Tuan Putri kalo gak ada gue, hampir ketumpahan kuah bakso." Noah meletakkan mangkuk ke atas meja dengan hati-hati. Begitu genggamannya terlepas dari alas mangkuk, Sabhira dibuat terkesiap melihat ujung-ujung jemari Noah menjadi kemerahan. Diraihnya jemari Noah dengan panik, bau kuah bakso langsung menyengat penciuman Sabhira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Novela JuvenilKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...