Selamat malam, terima kasih kepada kalian yang masih setia hadir membaca kisah Arkana. Dukungan vote dan komentar dari kalian dapat menjadi motivasi yang berharga untuk Rin <3
Selamat membaca, selamat hanyut dalam barisan kata.
*
*
*
Lima pasang mata itu kini sedang menatap langit gelap yang mengguyur bumi dengan air hujan yang tidak begitu deras. Dahan pohon di sekitar mereka mulai menari mengikuti tiupan angin yang membawa serta suhu dingin tengah malam. Arkana melirik layar ponselnya untuk mencari tahu pukul berapa tepatnya saat ini. Pukul setengah dua belas malam, Arkana lantas kembali mengantongi ponselnya dengan tenang. Ia kira sudah jam satu malam, ternyata sang waktu tidak berlalu secepat itu.
Malam benar-benar sudah semakin pekat. Di bawah atap tempat parkir rumah sakit, kelima anak muda itu tengah berlindung agar tak membuat diri basah karena air hujan yang jatuhnya bergerak miring akibat angin kencang. Berisiknya butiran air yang menyerbu atap sangat ramai menyapa pendengaran, semuanya membisu tanpa ada seorang pun yang berniat untuk memecah keheningan. Arkana menatap kosong pada seekor katak kecil yang melompat ke dalam genangan air yang memenuhi tanah berlubang.
Beberapa detik kemudian lirikannya jatuh pada Harya yang tiba-tiba menjulurkan tangan ke depan, merasakan tetesan-tetesan hujan yang dingin mulai memenuhi telapak tangannya yang lebar.
"Suara hujan di genting emang kedengaran deres banget, tapi kayaknya masih bisa kita tembus deh." Ditepiskannya telapak tangan berulang kali guna mengurangi air hujan yang membasahinya.
"Sabhira, lo pulangnya bareng Arkana aja, rumah kalian searah."
"Oh, ya?" Mengabaikan ekspresi Noah yang tak terima dengan ide spontan Harya barusan, Sabhira kini mengangkat wajahnya untuk menatap Arkana.
"Aku selalu lewat depan rumah kamu kalo berangkat ke sekolah." Pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan lirikan mata yang ia lempar pada Sabhira untuk tiga detik, sebelum ia kembali menatap ke lain tempat karena salah tingkah.
"Gue gak masalah nganterin Sabhira pulang biarpun rumah gue gak searah." Mati-matian Noah menjaga intonasinya agar tidak terdengar seperti anak kecil yang sedang protes.
Empat pasang mata itu kini dengan kompak menatapnya, "Sabhira pulang sama gue aja, datengnya juga gue yang jemput kok."
"Noah, di antara kita semua tuh rumah lo yang paling jauh. Kalo harus nganterin Sabhira dulu, lo bisa masuk angin karena kelamaan mandi hujan." Kiersha tahu Noah menyukai Sabhira. Tidak. Semua orang tahu tentang perasaan Noah pada Sabhira, tapi ini bukan saat yang tepat untuk memenangkan ego sepihak. Udara benar-benar dingin, apalagi jenis hujan ini adalah hujan yang terasa perih dan tajam jika mengenai kulit. Berlama-lama di bawah hujan seperti ini hanya akan mendatangkan penyakit.
Sabhira mengeratkan pelukan pada helm merah di perutnya, itu helm Mbak Dini yang ia pinjam tadi. Entah mengapa saat ini ia merasa sangat tidak enak hati pada Noah, karena kalau boleh jujur, Sabhira ingin menempuh perjalanan pulang bersama Arkana malam ini. Di atas motor berdua dengan Arkana, kira-kira seperti apa rasanya? Membayangkannya saja sudah mulai mengundang debar-debar tak tahu diri dalam dada Sabhira.
"Masuk angin doang, minum obat juga bakal sem—" Ucapan Noah harus terpotong atas tindakan Arkana yang kini melepas hoodie-nya untuk ia berikan pada Sabhira.
"Kita tunggu hujannya reda sedikit lagi," gumam Arkana dengan fokus yang kini mengarah pada Noah. "Sabhira sama gue aja, bakal gue anterin dengan aman kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Ficção AdolescenteKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...