18 | Dancing in the Rain

68 12 7
                                    

[WARNING!!!] 

Ending dari chapter ini bisa bikin tantrum karena salting.

Happy reading ^3^

*

*

*

"Bukan hujannya yang bikin romantis, tapi dengan siapa kita menikmatinya."

Mendengar penuturan Arkana barusan membuat Sabhira harus bersusah payah menata ulang perasaannya yang nyaris tak terkendali. Irama rinai hujan yang mulai melemah menjadi latar musik untuk mengiringi dua mata yang saling beradu dengan bibir yang sama-sama terkatup rapat. Meski begitu, ada ribuan kata tak terlisankan yang mereka timbun begitu banyak dalam kepala masing-masing, saling menunggu waktu yang tepat untuk melontarkannya ke permukaan.

Sabhira berusaha menormalisasikan ucapan Arkana barusan sebagai hal yang biasa. Namun, ia tidak bisa. Sepertinya ada alasan mengapa Arkana mengucapkan kalimat sederhana dengan dampak luar biasa itu, dan Sabhira takut bahwa apa yang ia pikirkan memang benar.

"Dia sedang merayuku?"

Laki-laki itu masih menatapnya untuk menunggu respons. Rambut lembap Arkana bisa membuat Sabhira gila, sebab pesonanya bertambah sepuluh kali lipat. Sabhira tidak akan pernah bisa lupa pemandangan Arkana yang seperti ini, tetesan-tetesan kecil air dari ujung rambutnya, bibir tipis yang melengkungkan senyum damai, dan tatapan mata sayu yang menghunus begitu dalam seolah hendak membedah jantungnya.

Semenit kemudian. Sabhira akhirnya sanggup menggerakkan lidahnya untuk bersuara.

"Ucapan buaya kayak begitu bener-bener ampuh buat bikin para gadis baper seketika." Sabhira berbciara pelan—kehilangan percaya diri. Suaranya nyaris teredam berisiknya hujan, namun Arkana masih sanggup mendengarnya dengan jelas. Terlalu jelas hingga salah satu sudut bibirnya terangkat.

"Jadi kamu baper?"

"Enggak!!" Spontan nada suara Sabhira meningkat. Gadis itu protes dengan raut wajah merengut masam.

Sedang Arkana tersenyum manis. Dia bahagia, melalui momen seperti ini bersama Sabhira membuat hatinya merasa senang.

"Kalau kamu baper bilang aja, nanti aku tanggung jawab." Dengan ucapan itu, senyum Arkana melebar. Tidak sanggup menahan gejolak ramai dalam dadanya.

Semu merah di kedua pipi Sabhira timbul semakin jelas. Rambut panjangnya yang ia ikat ekor kuda mulai lepek karena air hujan. Namun, hal itu tidak mengurangi paras jelita dari bentuk wajahnya yang mungil. Sambil mengulum senyum, Sabhira langsung mengenakan helmnya untuk menyembunyikan raut semringah yang membuatnya malu untuk ditampakkan di hadapan Arkana.

"Siapa yang peduli kalau dia tampan? Omongannya kayak playboy," batin Sabhira dengan kedua tangan yang kini ia lipat ke dada, berusaha bersikap dingin.

"Hujannya udah reda, mending kita mulai jalan sekarang." Sabhira bergumam cukup nyaring dari balik visor helmnya. Mengalihkan topik semampunya.

"Boleh jawab pertanyaan aku dulu sebelum kita lanjut?" Ada hal yang membuat Arkana cukup penasaran dan menginginkan jawabannya saat ini juga.

Sabhira melirik tajam pada Arkana dari balik helmnya. Dengan debar-debar rahasia yang ia sembunyikan di dalam dada, ia lantas dengan malas menganggukkan kepala untuk menyetujui.

"Tadi kamu bilang kalau kamu benci hujan. Ada alasan khusus?"

Sebelum Sabhira membuka mulut untuk memberi jawaban, tatapan sendu itu bergelayut pada kelopak matanya yang memiliki lipatan rapi. Diamnya Sabhira untuk beberapa detik membuat ritme jantung Arkana berdebar panik melawan tulang rusuknya, berpikir bahwa ia mungkin terlalu menggali informasi mengenai gadis di hadapannya itu.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang