19 | Tumbuh Dewasa

75 12 7
                                    

Sabhira meneguk air hangat dari bibir cangkir bergambar karakter Mickey Mouse, ia sudah mandi dan berganti pakaian yang cukup tebal. Air hangat yang menuruni tenggorokannya benar-benar memberi sensasi menyembuhkan.

Sudah pukul satu malam saat ia tiba di rumah dan disambut dengan wajah jutek Mbak Diah yang membukakan pintu untuknya. Mbak Dini sudah tidur lebih dulu karena harus pergi bekerja besok, Oma dan Opa juga sudah mengunci diri untuk beristirahat di kamar mereka. Kini ia duduk di ruang makan bersama dengan Mbak Diah yang terus menatap marah padanya. Meski begitu, pikiran Sabhira terus berputar pada adegan romantis saat ia sedang berdansa dengan Arkana di bawah hujan, padahal di hadapannya kini ada Mbak Diah yang sedang mengomel seribu satu bahasa. Sebagian dirinya masih tertinggal di halte bus tua tempat ia berteduh dengan Arkana, sampai kesadarannya harus kembali terkumpul saat Mbak Diah melemparnya dengan sebutir kacang dari dalam stoples. Sabhira bergidik ngeri saat ia mengangkat tatapannya pada Mbak Diah dan mendapati kerutan kecil muncul di alis perempuan itu.

"Katanya jenguk temen di rumah sakit? Mana ada jam besuk sampe jam satu malam, Ra?!"

Sabhira hendak menyahut untuk membela diri. Namun, dering singkat dari ponselnya menyita paksa seluruh atensi yang tadinya hanya fokus pada Mbak Diah. Diliriknya ponsel putih yang ia letakkan tepat di sebelah cangkir minumnya.

2 messages from Arkana Gunadhya

"Tadi itu yang nganter kamu pulang siapa? Kok beda sama yang datang ngejemput kamu sebelumnya?" Sabhira masih fokus pada layar ponselnya, kini sudah ada tiga pesan masuk dari Arkana. "Kamu punya dua pacar, Ra?"

Sabhira seketika mengangkat wajahnya untuk menatap Mbak Diah, pertanyaan itu membuatnya benar-benar terkejut. Sebab hal itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya. Selingkuh? Yang benar saja.

"Aku bukan tukang selingkuh, Mbak Diah. Selingkuh itu tindakan seorang pengecut egois yang tidak bisa bertanggung jawab atas perasaannya sendiri. Sama kayak mantan Mbak Diah yang gondrong itu."

Mbak Diah menggelengkan kepalanya berulang kali, menahan malu karena harus mengingat kembali tentang mantan terakhirnya itu.

"Jangan bawa-bawa masa lalu mbak, Ra. Ini kamu pulang jam satu malam lho, baguskah anak cewek pulang lewat tengah malam?" Sabhira terdiam. Diraihnya cangkir untuk kembali menyeruput air hangatnya yang masih mengepulkan asap tipis. Dalam hati ia mengakui kesalahan pulang lewat tengah malam. Peraturan tidak resmi di keluarga ini adalah pulang sebelum jam dua belas malam—seperti Cinderella, bahkan Mbak Dini sekali pun tidak pernah pulang di atas jam sebelas malam. Jadi Sabhira tahu kalau ia telah berbuat salah, tapi dalam hati ia merutuk hujan karena turun dengan awetnya.

"Jadi pacar kamu yang mana? Yang ngejemput atau yang nganterin pulang? mbak tahu kalo salah satunya pasti pacar kamu, mbak juga udah melalui masa SMA."

Sabhira menghela napas berat. "Aku enggak tertarik buat pacaran, Mbak. Dua-duanya cuma temen aja kok."

Gadis itu lantas berdiri dari kursinya, mengambil serta cangkir di atas meja untuk ia bawa ke wastafel dapur. Mbak Diah mengikut di belakangnya masih dengan ceramah tentang betapa berbahayanya dunia luar saat malam. Padahal Sabhira ingat sekali bagaimana Mbak Diah sering mengeluh karena harus pulang sebelum tengah malam saat ia masih berpacaran dengan laki-laki gondrong itu.

"Iya iya. Aku minta maaf pulangnya jam satu malam, tapi karena hujan lho, Mbak. Yang bikin aku pulang telat itu berteduh karena hujan, bukan karena ada kegiatan lain."

"Berteduh? Tapi kok kamu basah kuyup?"

Pertanyaan itu menusuk tepat sasaran sampai membuat Sabhira diam tak berkutik.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang