Chapter ini Rin ketik disertai beberapa tetes air mata. Mungkin karena selama proses penulisannya, Rin terus saja mendengarkan lagu dari Shanna yang berjudul Rela.
Mohon berikan banyak cinta pada Once Upon A poem. Dan khusus pada chapter kali ini, tolong peluklah Arkana seerat mungkin.
Selamat membaca. Selamat hanyut dalam barisan kata.
***
Hari terus berganti. Pada waktu pagi di penghujung pekan—saat sekolah sedang libur karena hari minggu—Arkana dan Bapak sedang siap-siap untuk mengunjungi tanah pekuburan dari wanita yang namanya selalu mereka hidupkan dalam doa.
Ketika eksistensi Sang Ibu direnggut oleh kematian dari sisi Arkana dua tahun lalu, ia yang masih berusia cukup belia harus memaksa diri menjadi lebih tegar, karena Bapak sudah nyaris karam kala itu. Beliau telah kehilangan separuh jiwanya, wanita yang selalu ia hujani dengan cinta tak lagi ada untuk mendampingi di sisi. Lentera jiwanya baru saja padam, lentera yang sudah menerangi jalannya untuk mengarungi bahtera hidup selama lima belas tahun lamanya.
Tepat saat Arkana berusia tiga belas tahun. Sosok Bapak yang selalu terlihat kuat, akhirnya luruh bersamaan dengan derai hujan yang mengalir di bawah matanya. Itu adalah kali pertama Arkana melihat Bapak menangis sangat banyak, untuk memboyong diri ke hadapan jenazah sang istri pun beliau seperti tak sanggup. Saat itu Arkana sudah paham dengan makna dari kehilangan untuk selama-lamanya, ia memahami bahwa semua yang bernyawa kelak akan menjumpa ajalnya—memenuhi panggilan Sang Ilahi. Namun, yang tidak ia pahami di malam dingin saat kepergian Mama kala itu, mengapa harus di saat yang sama saat mereka akan menyambut hadirnya sosok bayi dalam kandungan Mama?
Parahnya lagi, tidak hanya kehilangan Mama. Mereka juga dituntut untuk melapangkan dada, karena bayi yang seharusnya menjadi anggota baru dalam keluarga kecil mereka ikut direnggut ajal. Dunia Arkana benar-benar runtuh malam itu, ia tertimbun duka hingga rasa-rasanya lelaki itu tidak lagi sanggup mengangkat wajahnya untuk menghadapi dunia. Arkana tak henti-hentinya bertanya pada Tuhan; apa gerangan kesalahan yang telah ia perbuat hingga garis takdir keluarganya harus sekejam ini?
Di lorong rumah sakit pada malam persalinan Mama, langit seolah jatuh tepat di atas kepala Arkana dan Bapak. Alih-alih mendengar tangisan bayi yang keluar dari rahim Mama, justru tangis pilu dari keduanya yang saling mengisi pendengaran satu sama lain. Dinding rumah sakit menyaksikan bagaimana Arkana dan Bapak meronta dalam dingin dan sunyinya malam, melampiaskan segala sesak yang mendarah daging dalam jiwa yang sudah hampa. Karena mereka tahu, bahwa untuk menuntaskan rindu pada bidadari cantik mereka, sudah tak lagi dapat terobati dengan pertemuan.
"Pak ... Arkana udah gak akan bisa denger suara Mama lagi. Di rumah udah gak ada Mama, Arkana gak mau pulang." Ucapan Arkana saat hari pemakaman Mama semakin mengoyak habis hati Bapak. Bahkan sampai saat ini, setiap kali Bapak menatap punggung anak laki-lakinya itu, masih bisa ia dengar suara Arkana yang menangis lirih dua tahun lalu. Di siang mendung saat Bapak dengan kewarasan yang hampir sirna harus menyaksikan istrinya dikebumikan.
Hari-hari setelah kehilangan menjadi begitu berat. Di atas sajadah yang selalu Bapak gelar dalam lima waktu setiap harinya, Bapak tak pernah berhenti menyuarakan permohonannya. Permohonan agar Tuhan senantiasa melimpahkan kekuatan pada dirinya untuk bertahan demi Arkana. Sekali pun lisannya selalu ingin memanjatkan pinta agar bidadarinya dikembalikan. Namun, Bapak tahu, raga yang telah raib ditelan bumi tentu tak mungkin hidup kembali.
Arkana yang selalu diam-diam mendengar tangis rahasia Bapak ikut merasa gundah, hatinya selalu hancur setiap kali mendengar tangis peratapan Bapak. Tangis yang seolah tak akan pernah bisa ditenangkan oleh apa pun, tangis yang senantiasa tumpah untuk tokoh yang telah direngkuh keabadian. Tokoh yang bayang-bayangnya akan selalu hadir membawa serta kerinduan paling memilukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Ficção AdolescenteKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...