12 | Peran Seorang Teman

52 14 3
                                    

Agustus 2011

Saat kegiatan belajar-mengajar seluruh kelas sudah berakhir, saat itulah pengumuman audisi anggota band mengalun dari setiap sepiker yang ada di sekolah. Peserta audisi diminta untuk tidak pulang dan langsung menuju ruang seni musik tempat akan dilangsungkannya audisi. Ruangan menegangkan tempat para peserta akan diseleksi berdasarkan bakat yang mereka miliki dalam bidang bermusik.

Siang itu cukup terik, Sang Rawi bersinar begitu terang seolah berencana menghanguskan seisi bumi. Viona—teman duduk Sabhira—terlihat cukup gugup saat mengemasi seluruh bukunya ke dalam tas. Selain karena cuaca yang panas, pengumuman yang masih terdengar berulang dari sepiker sekolah juga memeras paksa seluruh keringatnya. Gadis itu akan mengikuti audisi sebagai vokalis wanita untuk band sekolah. Khusus angkatan mereka, band sekolah memutuskan untuk mencari vokalis wanita agar band mereka dapat membawakan lagu duet tanpa kesulitan mencari vokalis pendamping secara mendadak.

"Lo pasti lolos. Jangan gugup, nanti penampilan lo jadi gak maksimal." Sabhira menutup rapat ritsleting tasnya setelah memastikan semua barang tak ketinggalan di laci meja.

"Temenin gue, Ra. Lo jangan pulang dulu." Telapak tangan Viona terasa dingin saat ia menggenggam punggung tangan Sabhira.

"Pasti. Lo tahu Harya? Dia juga ikut audisi. Gue ama Kiersha emang niat buat nungguin kalian sampai selesai hari ini." Lengkungan bibirnya nampak begitu menenangkan. Dengan tangannya yang lain, Sabhira mengusap punggung tangan Viona. Lengkungan bibirnya berusaha meyakinkan teman duduknya itu bahwa ia mampu.

"Duh, Ra. Kalo gue gagal gimana, ya? Malu banget. Gue denger ada penyanyi gereja dari kelas Wijaya Kusuma yang juga bakalan ikut audisi. Suaranya bagus banget, Ra. Gak mungkin gue bisa menang dari dia."

Noah yang sejak tadi diam-diam mendengarkan percakapan mereka akhirnya membalikkan badan, ia memang menduduki bangku tepat di depan Sabhira dan Viona.

"Kenapa malu, Vi? Kegagalan mungkin emang bukan hal yang bisa kita banggakan. Tapi juga bukan berarti itu memalukan. Butuh keberanian luar biasa untuk menghadapi hal besar yang hasil akhirnya masih belum pasti. Jadi, lo udah hebat banget karena berani mencoba." Pemuda itu hanya berbicara dengan santai tanpa ada maksud menceramahi, yang justru membuat kedua lawan bicaranya tertegun karena tak menyangka kalimat motivasi seperti itu bisa lolos dari bibir seorang Noah Janardana.

Ternyata pemuda itu tidak hanya tampan saja, ia juga memiliki gaya bicara yang mempesona. Apa yang baru saja ia sampaikan itu tidak hanya berdampak besar bagi Viona, namun, juga bagi Sabhira. Kenyataannya tidak pernah ada yang pasti dalam hidup ini, semua orang tentu pernah mengecap pahitnya kegagalan, sebab tidak ada yang bisa benar-benar menjanjikan sesuatu secara pasti. Sebab dalam rencana yang kita pegang dengan hanya bermodalkan keyakinan, ada campur tangan Sang Pencipta yang bisa saja jauh berbeda dari harapan kita.

"Gue setuju sama Noah, tapi mari kita nggak mikirin kegagalan dulu. Yang ada bakal bikin lo tambah kehilangan semangat. Harusnya sekarang kita mikirin yang baik-baik aja." Jeda. Gurat wajah Viona masih terlihat gelisah. "Gue lagi mikir betapa kerennya diri ini karena temen duduk gue seorang vokalis band sekolah, gue lagi bayangin lo manggung di suatu event terus punya banyak penggemar cowok yang naksir berat sama elo. Duh, keren banget." Viona terkekeh mendengar pengandaian Sabhira, membuat Noah juga tak mau kalah.

"Gue juga udah ngebayangin, nih, Vi. Para penggemar cowok lo itu pada cemburu ama gue setiap kali kita ada interaksi, soalnya mereka takut gue ngerebut elo dari mereka. Hahaha, bakal seru banget gak, sih?" Kali ini tidak hanya Viona yang tertawa cukup nyaring, tapi Sabhira juga. Ia benar-benar membayangkan skenario yang baru saja Noah ucapkan, dan memang akan sangat seru jika hal itu bisa benar kejadian.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang