08 | Sang Perayu

88 16 10
                                    

"Kala kupandang kerlip bintang nun jauh di sana ... sayup kudengar melodi cinta yang menggema ...."

Senandung kecil dari bibir Harya mengisi keheningan diantara deru mesin mobil yang berkolaborasi dengan bunyi penyejuk yang sengaja diatur paling dingin. Pengharum keramat bagi penumpang mobil terlihat menggantung di sekat AC, wangi jeruknya yang bikin sakit kepala menyerang indra penciuman secara brutal. Sabhira tidak habis pikir, kenapa pula Harya harus memilih pengharum yang menjadi musuh dari kebanyakan penumpang. Padahal ada beragam jenis pengharum mobil yang wanginya jauh lebih ramah.

Meski begitu, Sabhira tak menunjukkan dengan jelas bagaimana pengaruh wangi menyengat itu membuatnya terus merasa mual.

Dari sepiker mobil yang volumenya tak seberapa, lagu bertajuk Kopi Dangdut terus mengalir. Ada flashdisk yang tertancap di head unit mobil dan memendarkan cahaya hijau yang berkedip-kedip tanpa jeda. Benda kecil itu sudah jelas milik seorang Harya, selain karena berisi lagu dangdut, juga ada inisial namanya di sana—MHJ.

Jujur saja, Sabhira merasa sangat canggung berada dalam mobil itu. Ia tidak mengenal Respati dan Arkana dengan baik, interaksinya dengan Arkana di depan mading pun terhitung sangat singkat. Apalagi dengan Respati, Sabhira hanya mengenal namanya saja tanpa pernah menciptakan dialog apa pun. Berbeda dengan Kiersha, ia memang sudah mengenal dua pemuda itu karena kelas mereka bersebelahan. Membuat Sabhira merasa asing sendiri.

Setiap yang berada dalam mobil itu hanya terus diam, larut dalam isi kepala masing-masing sambil memandang keluar jendela. Kecuali Kiersha, kedua jempol gadis itu terlihat berkutat hebat dengan papan ketik ponselnya. Sabhira melirik sahabatnya itu untuk sekilas, dari guratan kesal wajah Kiersha, Sabhira sudah bisa menebak kalau ia sedang bertengkar dengan kekasihnya.

Arkana yang duduk di belakang Harya terlihat membuang pandangannya keluar jendela sambil menopang dagu, pemuda itu sangat rapat dengan pintu mobil. Bukan karena apa, tapi ia tidak ingin membuat Sabhira yang duduk di sebelahnya merasa tidak nyaman jika ia duduk terlalu dekat. Pasalnya, gadis itu juga terlihat duduk sangat merapat pada Kiersha. Menyisakan tempat kosong yang muat untuk satu orang lagi antara dirinya dan Arkana. Kiersha yang duduk di belakang kursi Respati sesekali menyikut Sabhira karena merasa sempit. Namun, Sabhira selalu bergeser tanpa menciptakan jarak.

"Duh, Raaa! Sempit, nih! Geser sana." Kiersha mengernyit dengan wajah menahan rasa jengkel. Pertengkarannya dengan sang kekasih saja sudah bikin panas, ditambah Sabhira yang melengket padanya seperti prangko membuat Kiersha makin naik darah. Ia menoleh pada tempat kosong di antara Sabhira dan Arkana, lantas menghela napas berat saat mendapati ada jarak yang begitu luas di sana.

"Astaga, Ra! Lo napa, sih? Alergi lo sama Arkana?"

"Enggak!" Sabhira menjawab cepat, tak ingin pemuda di sebelahnya itu merasa tersinggung atas pertanyaan dari mulut Kiersha. Merasa disebut namanya, Arkana lantas menoleh pada sumber suara. Bahkan Respati juga sedikit berbalik ke belakang hanya untuk melirik tajam pada tempat kosong di antara Sabhira dan Arkana.

"Mukanya Arkana kayak bukan orang bener, ya, Ra?" Harya melirik dari kaca spion dalam mobil untuk menengok apa yang sedang terjadi di belakangnya.

"Enggaklah!" bantah Sabhira lagi, ia pun akhirnya mulai bergeser tepat ke tengah kursi. Relaksasi dari wangi parfum Arkana sukses menghapus kecanggungan Sabhira. Sama seperti orangnya, wangi parfum itu sangat manis.

"Eh, tapi ... lo belum kenalan sama Arkana, 'kan? Kenalan dulu, deh, kenalan." Lirikan mata Harya bertemu dengan tatapan sengit dari Arkana melalui kaca spion.

Perihal ketertarikan Arkana pada gadis yang kini sedang meliriknya itu, Arkana sendiri belum mengambil kesimpulan mutlak. Karena hati memang acapkali seperti itu, tidak memberi alasan mendasar terhadap sebuah rasa yang ia timbulkan begitu saja. Terkadang hanya sesaat, terkadang enggan beranjak. Akan tetapi, beberapa alasan memang tidak memerlukan penjelasan yang mendasar. Sebab ketulusan tak menuntut sebuah dalih.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang