Selamat malam ^_^
Selamat berkecimpung kembali di dunia fiksi tempat Arkana Gunadhya berada <3
* * *
Hawa panas mengisi udara di tengah hari tepat usai salat jumat, Arkana dan Bapak berjalan kaki dari masjid dekat rumah usai melaksanakan kewajiban mereka sebagai seorang muslim. Matahari bersinar sangat menyengat, rasanya sandal jepit biru yang ia kenakan nyaris melekat pada aspal jalan. Dulu waktu Arkana masih kecil, Bapak akan menggendongnya di punggung dan berlari pelan agar bisa cepat sampai di rumah. Gambaran bagaimana kejadian itu berlangsung masih tercetak segar dalam ingatan Arkana, bahkan suara tawanya bersama Bapak kala itu masih bisa ia dengar jelas. Pemuda itu menarik seulas senyum kecil, kenangan bahagia yang melintas bagai garis lurus itu masih terus berputar dalam kepalanya. Di punggung Bapak yang sewaktu itu masih terasa begitu lebar bagi Arkana, ia tertawa nyaring tatkala Bapak dengan sengaja menirukan bunyi motor balap yang biasa mereka saksikan melalui tv tabung tua pemberian Kakek.
Mengingat semua itu lantas membuat Arkana menghela napas berat sambil menengadahkan kepalanya pada langit, silau mentari yang menerjang seketika membuat telapak tangan Arkana bergerak spontan melindungi kedua matanya—menatap gumpalan awan putih melalui sela-sela jarinya yang ia biarkan terbuka. Rasanya Arkana ingin kembali ke masa kecilnya dulu, masa di mana ketika mereka mencapai rumah usai salat jumat seperti ini, mereka akan mendapati Mama sedang sibuk mondar-mandir menata menu makan siang ke atas meja. Mata Arkana terasa panas, namun bukan kerna teriknya sang Rawi. Air matanya kembali terbendung mengingat senyum Mama saat menyambut kepulangan mereka. Rindunya kembali memuncak, jadi ia melambatkan langkah kakinya agar tertinggal di belakang Bapak. Menyembunyikan gurat sedihnya yang tentu saja bisa membuat Bapak ikut bersusah hati.
"Loh? Kenapa, Nak? Sandalmu tertukar?" Menyadari Arkana tak lagi mendampingi langkahnya, Bapak segera menoleh dan mendapati bagaimana putranya berjalan gontai sambil menundukkan kepala cukup dalam. Kedua kaki bapak kini menetap, menunggu putra semata wayangnya itu untuk mengisi sekitarnya.
"Kenapa?" Dielusnya punggung Arkana begitu mereka kini mulai berjalan saling beriringan.
"Arkana tadi belum sempat goreng ikan, telat pulang dari sekolah. Di rumah cuma ada sayur lodeh," ucap Arkana lemah. Tenggorokannya seperti kering untuk mengutarakan rasa rindunya pada Mama, takut membuat suasana hati Bapak menjadi kelabu.
"Cuma gara-gara itu kamu jadi lusuh begini?" Bapak menekan kuat sebelah bahu Arkana, merangkulnya dari balik pundak, "Wes, ra usah sedih begitu. Kita mampir beli di prasmanan saja."
Arkana tak memberi respons, ia kembali larut dalam langit-langit pikirannya yang hanya terus menampilkan bayang-bayang ketika Mama masih berada di dunia ini. Seolah ingin meremas jantung akibat rasa sesak yang kian larut dalam dadanya, Arkana tak henti-hentinya berusaha menenangkan diri dengan mengatur nafas dengan pelan. Berusaha menemukan relaksasi yang tak kunjung menghampiri, Arkana akhirnya mengembuskan napasnya dengan berat. Bapak tentu tidak tinggal diam mendengar putra satu-satunya itu memasang tampang muram dan mengembuskan napas dengan bersusah hati.
"Kangen Mama, ya?" Bapak bertanya tanpa mengalihkan atensinya dari jalan yang di susurinya, "Dulu kalo pulang jumatan kayak gini, Mama udah sibuk nyiapin makan siang di rumah. Kamu pasti keinget kenangan itu, kan?"
Susah payah Bapak menjaga nada suaranya agar terdengar santai, meski kenyataannya ada duka hebat yang mencabik hatinya perlahan-lahan setiap kali ia mengenang bintang hati yang telah lama padam. Bapak tidak ingin membicarakan tentang Mama dalam suasana murung, tidak di hadapan Arkana.
"Sampai saat ini Arkana masih sering kepikiran, kenapa Mama terlalu cepat pergi? Arkana belum sempat jadi anak yang baik buat Mama, ada banyak hal yang Mama harapkan dari Arkana yang sampai saat ini belum sanggup Arkana penuhi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Novela JuvenilKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...