Mobil Harya berhenti di depan salah satu rumah yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lamanya, salah satu penumpangnya merupakan penghuni rumah yang cukup besar tersebut. Rumah besar satu lantai dengan desain arsitektur sederhana ala jaman dulu, halamannya cukup luas dan terdapat banyak tanaman hias yang nampaknya dipelihara dengan sangat baik. Ada pohon kamboja di sisi sebelah kiri halaman. Cahaya redup dari lampu di langit-langit rumah tak sanggup menerangi keseluruhan bagian teras, tapi masih bisa menerangi pintu kayu berpoleskan politur vernis yang merupakan akses masuk ke dalam rumah. Penumpang pertama yang harus turun dari mobil adalah Sabhira, ia menghuni rumah itu sejak usianya menginjak tujuh tahun.
Kiersha mendorong pintu mobil dan menjulurkan kakinya keluar untuk menapaki tanah, membuka jalan bagi Sabhira untuk ikut turun dari mobil.
"Thank you, Harya." Ditepuknya bahu kiri Harya, pemuda itu sibuk mengamati suasana rumah Sabhira yang terbilang sangat nyaman. Meski pintu rumah itu tertutup rapat, tapi bisa Harya rasakan ketentraman yang ada di dalamnya.
"Anytime, Ra." Harya cuma melirik sekilas pada Sabhira dengan satu anggukan kepala.
Netranya kembali fokus ke hunian nyaman di sana, ia terlalu suka dengan suasana rumah Sabhira. Lampu teras yang redup, pagar putih yang tak sampai 150cm, tanaman yang rindang, juga cat rumah berwarna hijau yang sudah pudar. Rasa-rasanya Harya ingin duduk di salah satu sofa yang tersedia di depan jendela kaca ruang tamu, bermain gitar sambil menyenandungkan lagu favoritnya dari band ST12.
"Na. Res. Gue duluan, ya?" Sabhira melempar senyum pada Arkana, karena pemuda yang duduk di depan sana nampak cuek-cuek saja sambil menganggukkan kepala.
Senyuman Sabhira dibalas tak kalah manis oleh Arkana, membuat hati gadis itu nyaris terhuyung tak tentu arah. Sebelum Sabhira turun, Arkana sempat melambaikan tangan pada Sabhira. Mengingatkan keduanya akan pertemuan pertama mereka dua minggu lalu, ditemani tong sampah kelas Flamboyan. Buru-buru ia turun untuk melarikan diri dari rasa canggung yang semakin menggerogoti. Arkana terasa begitu ajaib baginya, ada getaran yang dihantarkan oleh pemuda itu hanya melalui sorot matanya yang teduh. Sabhira tak sanggup menanggung getaran itu terlalu lama, sehingga ia memutuskan untuk berpaling begitu saja.
"Gue kudu masuk dulu gak, sih? Pengen nyapa Oma," ujar Kiersha pelan. Guratan wajahnya menunjukkan bahwa ia serius ingin sekadar menyapa. Kiersha memang sudah sangat dikenal oleh orang rumah Sabhira, sebab pertemanan mereka terjalin sejak masa ingus menempel di pipi—sekolah dasar.
Deru mesin mobil Harya mengisi keheningan, juga suara motor dari kejauhan yang akan segera melintas. Sabhira menggeleng dengan mantap.
"Lain kali aja. Mereka bertiga mau lo buat nunggu? Lagian Oma juga pasti udah tidur jam segini." Bohong. Waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, biasanya nenek Sabhira sedang mengobrol dengan sanak saudara melalui telepon. Dan percakapan mereka akan berlangsung hingga pemberitahuan baterai lemah dari ponsel berlayar kuning itu mulai berteriak.
"Oke, deh. Besok lusa gue dateng main ke sini. Lo masuk sana, gue tungguin sampe ada yang bukain pintu." Kaki kanan Kiersha bergerak seolah akan menendang Sabhira, tindakan mengusir yang hanya dilakukan bagi mereka yang sudah terlalu akrab.
"Dih, emang gue penakut apa?" kata Sabhira seraya berlalu mendekati teras rumahnya. Ia melempar senyum pada Kiersha sebelum lirikan matanya jatuh pada sosok di dalam mobil yang jendelanya sengaja dibiarkan terbuka. Dari dalam sana Arkana tak memutus pandangannya dari Sabhira, yang tentu saja membuat penerima tatapan itu mempercepat langkahnya menuju pintu rumah.
Beratapkan langit dengan sinar bulan, Sabhira mengulum senyum saat kini ia mulai memunggungi kawan-kawannya. Binar matanya secerah tabur bintang yang menemani bulan penuh di atas sana. Kalau ada yang tanya kenapa, jawabannya ada pada notifikasi yang baru saja muncul dari layar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Novela JuvenilKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...