16 | Hidden Backstory

41 12 2
                                    

Pertama-tama, izinkan Rin mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi teman-teman yang menjalankan <3

Semangat terus, yaaaa >,<

* * *

Guntur mulai terdengar dari kejauhan saat kini Arkana sedang duduk di ruang makan bersama Jian dan Bapak, menikmati hidangan yang ia buat dengan sepenuh hati. Suara Bapak yang sedang berdialog dengan Jian terdengar samar di telinga Arkana, karena kini fokusnya hanya berpusat pada layar ponselnya. Selain notifikasi dari Sabhira, ia juga dibuat terkejut oleh enam belas panggilan tak terjawab dari Harya. Mengabaikan piring makan di hadapannya, Arkana mulai membuka DM dari Sabhira. Dua pesan yang dikirim saat sore hanya berisi tentang pertanyaan acak mengenai puisi, tiga pesan di bawahnya yang membuat Arkana gemetar dengan jantung yang terasa seperti meluncur ke perut

Respati masuk rumah sakit, dipukulin Radit sama temen-temennya.

Lo di mana? Harya marah banget lo gak ngangkat telepon.

Rumah Sakit Bumantara, hubungin gue kalo mau ke sini. 08xxxx.

Arkana seketika bangkit dari kursinya dengan mata yang masih membelalak pada isi pesan Sabhira, sontak membuat Bapak dan Jian ikut terkejut dan langsung melihat ke arahnya di tengah-tengah obrolan ringan mereka seputar sekolah Jian.

"Kenapa, Nak?"

"Re-Respati masuk rumah sakit, Pak. Arkana harus pergi sekarang." Arkana sudah mengambil langkah saat Bapak kembali bersuara.

"Temenmu yang kurus itu? Sakit apa? Eh, ini makananmu belum kamu sentuh lho!" Bapak sedikit berteriak karena Arkana kini menghilang di balik pintu menuju kamarnya.

Dengan cekatan ia mengambil hoodie milik Sabhira yang ia gantung menggunakan hanger di belakang pintu (sudah dicuci). Dikenakannya hoodie itu dengan niatan memang akan ia kembalikan jika sudah bertemu nanti di rumah sakit. Setelah helm dikepalanya sudah terpasang dengan benar, ia kembali melangkah ke ruang makan untuk pamit.

"Arkana pergi dulu, Pak. Mungkin pulangnya agak larut." Diraihnya tangan Bapak untuk ia cium.

"Kalo begitu kunci rumah kamu bawa saja. Jangan ngebut kamu!"

Arkana menganggukkan kepala, kemudian tatapannya ia bawa pada Jian. Biasanya ia hanya perlu pamit dengan Bapak, aneh rasanya harus pamit juga pada Jian. Sampai lidah Arkana terasa kelu karena tak tahu harus mengatakan apa pada dua mata jernih yang kini membalas tatapannya.

"Semoga temennya Mas Nadhya cepat sembuh." Karena Arkana tak kunjung mengucapkan apa pun, Jian berinisiatif sendri untuk memecah kecanggungan. Ucapan yang membuat senyum tipis Arkana merekah ditengah kegundahan hatinya.

"Makasih, Ji."

Arkana lantas memutar badan, membawa langkah keluar rumah. Guntur dari kejauhan mulai terdengar saat Arkana menyalakan mesin motornya. Dari kepalan tangan yang kini melingkar pada handle gas, ada amarah besar yang Arkana tampung untuk ia lampiaskan pada Radit. Sejak awal anak itu selalu merundung Respati, tapi membuat Respati sampai masuk rumah sakit? Arkana semakin mendidih membayangkan Respati yang tak berdaya dipukuli habis-habisan. Sahabatnya itu tidak pandai bela diri, karena tidak suka kekerasan. Sudah pasti ia tidak bisa melakukan perlawanan.

"Brengsek!"

Arkana menurunkan visor helmnya dengan kasar hingga menutupi seluruh wajah, visor helmnya yang seperti cermin memantulkan jalanan gelap di hadapannya. Ia melajukan motornya lumayan cepat saat mencapai jalan raya, menyalip beberapa pengendara lain yang menghalangi jalannya. Sekali lagi guntur dari kejauhan mulai terdengar, bisa dipastikan kalau hujan akan segera turun malam ini.

Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang