Arkana menatap pusara tempat jasad Mama dibaringkan, dedaunan kering berserakan di atasnya dan rumput liar di sekitar mulai meninggi. Jadi, pemuda itu bergerak atas keinginan sendiri untuk membersihkan pusara Mama. Begitulah pertemuan mereka dengan Mama selalu dimulai setiap kali ingin menuntaskan rindu yang senantiasa menggebu.
Bapak menyimpan kantong plastik berisi kelopak bunga ke sisi pusara dan ikut membantu Arkana. Mereka tak begitu sering berkunjung, namun juga tak bisa disebut jarang. Karena baik Arkana maupun Bapak, sudah terbiasa datang diam-diam seorang diri untuk menuntaskan rindu pada Mama. Arkana senang mengunjungi Mama seorang diri, ia suka mengoceh panjang lebar mengenai hari-harinya di tempat yang biasa orang sebut sebagai tempat peristirahatan terakhir. Barangkali Mama sudah terbiasa mendengar Arkana curhat mengenai banyak hal, curhatan yang kepada Bapak pun tak ia suarakan sama sekali.
Kedatangan mereka terkadang serba tiba-tiba. Bapak yang muncul dengan wajah lelah sepulang kerja, berusaha membangun kembali semangatnya untuk hari esok dengan mengunjungi Mama. Pun Arkana yang suka datang di siang yang terik sepulang sekolah, hanya untuk menumpahkan isi hatinya yang kian penuh. Setidaknya dengan begitu, mampu menciptakan kelegaan luar biasa dalam dada keduanya.
Usai menabur bunga dan mengirim doa, mereka akhirnya berpamitan untuk pulang. Matahari jam sepuluh pagi mulai terasa menyengat kepala, tapi bukan itu alasan mengapa mereka harus beranjak dari sana. Bapak ingin mengajak Arkana mengunjungi panti asuhan tempat Bapak dibesarkan dulu. Sebenarnya Arkana sudah pernah ikut, tapi waktu ia masih berusia lima tahun dan sudah tidak mengingat apa pun tentang panti asuhan tersebut.
Bapak bilang, di panti asuhan itu ia memperoleh didikan tegas untuk senantiasa mensyukuri nikmat Tuhan. Didikan itulah yang selalu berusaha Bapak turunkan pada Arkana. Sebatas pedoman agar putranya itu tak merasa iri saat melihat hidup orang lain jauh lebih baik dari yang ia miliki. Karena perasaan iri kepada orang lain adalah penyakit yang tak boleh dibiarkan bersemayam dalam diri, itu adalah bentuk penolakan yang sangat nyata adanya terhadap nikmat Tuhan.
"Iri tanda tak mampu." Begitulah kutipan yang sering Bapak dengar. Dari kutipan itu saja, Bapak menaruh rasa kasihan pada mereka yang memelihara rasa iri dalam hati. Ketidakmampuan seseorang dalam memiliki sesuatu yang bisa dimiliki oleh orang lain pada akhirnya membuat seseorang itu terus merasa kurang. Padahal, nikmat Tuhan tak terhitung jumlahnya untuk senantiasa disyukuri.
"Arkana. Ada tidak bagian tubuh yang tidak kamu sukai, Nak?" Arkana yang baru kembali dari membuang dedaunan kering ke dalam tempat sampah mengernyitkan jidatnya.
"Enggak ada, Pak. Paling pengen lebih proporsional aja badannya, Arkana kerempeng banget. Pengennya yang proporsional, mungkin kayak Harya." Pemuda itu terkekeh dengan senyum lebar pada ujung kalimatnya.
"Harya yang sering main ke rumah itu, kan? Yang nyanyi lagu dangdut terus?" Arkana semakin tertawa sambil memanggutkan kepalanya. Mereka kini mulai menyeret langkah untuk meninggalkan tempat, setelah mencium epitaf Mama untuk pamit pulang.
"Nak, kamu itu tidak kerempeng. Badan kamu bagus, kok." Dipegangnya lengan Arkana yang lumayan berisi, entah mengapa putranya itu menyebut diri dengan sebutan kerempeng. "Bapak cuma mau bilang, memiliki anggota tubuh yang masih lengkap dan sehat saja itu sudah termasuk nikmat tiada tara. Jadi, mau tubuh kamu kerempeng sekali pun harus tetap bersyukur. Coba bayangkan, bagaimana kalau kamu kehilangan kemampuan untuk memanfaatkan anggota tubuh kamu seperti bagaimana fungsinya?"
Ucapan Bapak menjelma menjadi anak panah tepat sasaran. Arkana sadar bahwa ia baru saja menginginkan apa yang ada pada orang lain. Ia tidak menduga bahwa pertanyaan acak Bapak yang tadi bertujuan untuk membuka sesi pembelajaran hidup hari ini. Tak jarang Arkana menyadari bahwa bentuk sabar dalam diri Bapak begitu terpancar terang. Sehingga bagi Arkana, Bapak adalah lambang terbaik dari segala ketabahan. Cara Bapak berdamai dengan diri sendiri setelah kehilangan Mama sangat luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Ficção AdolescenteKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...