Di bawah lampu pijar ruang tamu panti asuhan yang temaram, Bapak dan Arkana sama-sama terduduk di kursi kayu dengan raut tegang. Tangisan dari beberapa anak panti yang masih sangat belia terdengar dari ruang tengah. Tirai jendela mulai menari akibat embusan angin malam yang cukup kencang, membawa serta hawa dingin yang menusuk permukaan kulit. Beberapa anak panti terdengar mulai saling bersahutan, menyerang Jian yang akan segera meninggalkan rumah tempatnya hidup selama empat tahun terakhir.
Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan sorot sendu. Tidak pernah Jian sangka akan tiba saatnya ia meninggalkan tembok-tembok usang yang telah menyaksikan empat tahun pertumbuhannya, meninggalkan sofa teras belakang yang selalu menjadi tempat ternyaman baginya untuk menyendiri, meninggalkan ranjang dan bantal yang mungkin sudah bosan menampung air matanya. Meninggalkan Bunda serta anak-anak panti yang merupakan harta paling berharga dalam hidupnya.
"Kalo Kak Jian pergi, yang bacain Nina dongeng sebelum tidur siapa?"
"Kak Jian enggak usah pergi, di sini aja sama kita."
"Kakak udah gak sayang lagi sama kita semua?"
"Nanti yang bantuin aku ngerjain PR siapa kalo Kak Jian pergi?"
"Kak Jiaaaaaannn."
"Yang ngusir monster di bawah tempat tidur aku siapa kalo bukan Kak Jian? Bunda pasti enggak berani ngelawan monster."
Suara-suara cilik itu terus mengalir tak mengenal jeda. Lalu dari bingkai pintu ruang tengah yang sengaja dibiarkan terbuka lebar, Arkana bisa melihat bagaimana sosok tinggi itu berdiri kaku memerhatikan adik-adiknya yang terus menyerbu. Namun, gambaran paling sedih yang berhasil Arkana tangkap dari adegan di hadapannya itu adalah seorang anak laki-laki yang hanya berdiri di sudut ruangan, menatap Jian dengan sorot mata yang mengandung duka paling dalam. Seolah ia akan menjadi orang yang paling terluka apabila Jian telah pergi.
"Nanti kakak bakal sering datang berkunjung. Kakak usahain bisa sering-sering nengok kalian di sini, oke?" ucapnya sambil mengusap kepala salah satu anak yang berdiri paling dekat darinya, "Jangan nakal, jangan ngerepotin Bunda. Gak boleh nyisain makanan, gak boleh malas bersih-bersih, mengerti? Nanti kalo kakak datang lagi, kakak tanyain semuanya ke Bunda."
"Yaaaahhh. Kak Jian gak bisa, ya, gak usah pergi? Kita semua butuh Kak Jian ada di sini." Ucapan gadis cilik itu mengundang senyum getir dari Jian. Pemuda itu kemudian menekuk satu lututnya ke atas lantai untuk merentangkan tangannya lebar-lebar, meminta pelukan meski tak melisankannya dari bibir.
Spontan seluruh anak-anak yang sejak tadi mengerubunginya saling berlomba untuk memeluk Jian. Saat itulah untuk pertama kali dalam hidupnya, Arkana menyaksikan secara langsung cuplikan indah namun memilukan tepat di depan matanya. Bagaimana Jian menangis dengan begitu gundahnya sambil berusaha merengkuh seluruh adik-adiknya, bagaimana anak laki-laki itu terus memeras air matanya meski tanpa terdengar suara tangis sedikit pun. Arkana kemudian mulai mempertanyakan diri, sanggupkah ia menjadi sosok kakak sebaik itu untuk Jian? Saat Jian sendiri telah menjalani peran seorang kakak dengan sangat baik selama ini.
"Benar kata Bunda, Jian sebenarnya punya hati yang sangat lembut." Bapak berbisik pelan, mendengar itu Arkana hanya sanggup tersenyum tipis tanpa melepas titik fokusnya dari Jian.
"Sudah sudah ... sekarang udah jamnya gosok gigi. Gak boleh tidur larut malam, besok mau sekolah." Salah satu pengurus panti mulai menyahut dari sisi lain ruangan.
"Tapi Kak Jian?"
"Kita ketemu lagi nanti, ya? Minggu depan, gimana?" Jian mengerjapkan mata berusaha menahan diri agar berhenti mengucurkan air mata.
"Beneran, ya, Kak?"
"Gak boleh ingkar janji, lho. Dosa." Anak laki-laki botak itu mengacungkan jari kelingking mungilnya pada Jian, membuat pemuda tampan di hadapannya tersenyum lucu seraya mengaitkan kelingkingnya untuk mengikat janji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Fiksi RemajaKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...