Sabhira menengok ke arah gedung tempat ruang seni musik terletak, ia takut Arkana melewatkan kesempatan untuk ikut audisi. Lagipula ia sudah dipercayakan untuk datang menjemput Arkana, jadi tanpa berpikir lagi ia segera masuk ke dalam kelas untuk menghampiri lelaki yang sejak tadi berusaha menyembunyikan wajahnya. Noda darah sagar yang menempel di seragam lelaki itu jujur saja membuat Sabhira merasa cemas. Akan tetapi meski ia merasa cemas, dengan memalukannya debar-debar tak diinginkan itu kembali menyapa jantung Sabhira saat kini ia sudah duduk di kursi sebelah Arkana. Wangi yang menguar dari tubuh lelaki itu menggelitik penciumannya disertai bau darah segar yang tajam.
"Lo sakit, ya?"
"Enggak, kok. Ini karena cuaca panas." Lelaki itu masih saja enggan melepas banyaknya tisu yang menutupi mulut dan hidungnya selagi ia berbicara. Sembari menegakkan punggungnya karena sejak tadi ia bersandar terlalu rendah pada punggung kursi, ia berusaha untuk tak terlalu larut dalam pesona dari gadis yang kini duduk tepat di sisinya.
Semakin diperhatikan lamat-lamat dari jarak sedekat ini, barulah Sabhira melihat memar di sekitar pelipis Arkana. Membuat ujung-ujung jemari gadis itu secara naluriah bergerak pelan menyentuh memar yang nampak baru saja Arkana dapatkan.
"Ini kenapa?"
Hening.
Yang membuat Arkana terdiam bukanlah karena ia tak punya jawaban untuk pertanyaan sederhana Sabhira, tapi karena sensasi baru yang ia dapatkan dari sentuhan lembut jemari kecil itu. Pandangan Arkana seolah tak bisa menatap ke lain tempat selain pada mata jernih di hadapannya, kemudian ia meringis pelan saat Sabhira sedikit menekan jemarinya pada memar di sudut pelipisnya.
"Maaf." Menarik jemarinya kembali ke atas pangkuan, Sabhira tak kunjung melepas guratan cemas yang sejak tadi terpampang jelas di seluruh raut wajahnya.
Sabhira menyusuri setiap inci wajah Arkana untuk memastikan tidak ada luka lain. Menyadari hal itu lantas membuat Arkana membersihkan darah yang menetes dari hidungnya dan ujung-ujung jemarinya, barulah ia letakkan tisu berlumur darah itu ke atas meja untuk menunjukkan pada Sabhira kalau dirinya baik-baik saja.
"Aku habis berantem sama kursi." Arkana tersenyum usil saat melihat Sabhira mulai mengerutkan dahinya. "Tadi sebelum pulang aku ngangkat kursi ke atas meja. Trus gak sengaja kena tampol kaki kursi." Arkana tersenyum manis disertai tawa pelan yang sedikit dipaksakan.
"Nggak lucu, Arkana. Keliatannya kudu dikompres deh."
"Nanti kalo aku udah pulang di rumah." Arkana mengumpul semua tisu bekas dan memasukkannya ke dalam laci meja tempat duduknya.
"Audisinya gimana?"
"Kamu liat seragam aku? Ada noda darahnya. Nggak sopan tampil kayak gini, Ra."
Arkana benar-benar menanam dengan baik didikan dari Bapak untuk senantiasa tampil rapi di hadapan orang lain. Bukan sekadar agar diri terlihat lebih menarik, tapi juga untuk menghargai orang lain yang akan bertemu dengannya. Agar mereka nyaman untuk memandang Arkana.
"Kalo cuma karena itu gue punya solusinya, tapi lo beneran sanggup, kan?" Sabhira segera melepas tas ransel coklatnya, berusaha mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Nggak dengan kondisi wajah memar kayak gini ju—" Ucapan Arkana terpotong oleh tangan gesit Sabhira yang memakaikan topi di kepalanya.
"Mimisannya udah berenti, kan? Lo nggak pusing, kan?" Bersamaan dengan dua pertanyaan itu, Sabhira berhasil menarik keluar hoodie over-sized miliknya yang berwarna hijau mint dari dalam tas.
"Yang namanya anak band emang harus keren, semoga aja mereka nggak mempermasalahkan penampilan lo yang agak nyentrik gini." Disodorkannya secara paksa hoodie kesukaannya itu pada Arkana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A poem [SEGERA TERBIT]
Ficção AdolescenteKetika puisi menjadi wadah untuk segala emosi, karena hati menguras habis segala bentuk perasaan. Dalam sanubari, ada hasrat untuk menjadikan seseorang sebagai tanda titik di halaman terakhir kisah hidup. Menorehkan rasa dalam setiap bait-bait puisi...