Epilog

13.2K 1K 87
                                    

Seorang remaja laki-laki berjalan masuk ke dalam ruang perpustakaan, berjalan melewati tiap rak buku hingga menemukan sosok perempuan di pojok ruangan perpustakaan tersebut tengah tersedu membara sebuah buku.

“Buku apa lagi yang kau baca sampai menangis tersedu seperti ini?" tanya remaja laki-laki tersebut seraya mengeluarkan sapu tangan miliknya dari dalam saku celana, menggunakan sapu tangan tersebut untuk menghapus air mata yang membasahi pipi remaja perempuan itu.

Remaja perempuan tersebut menutup buku yang baru selesai ia baca tersebut, menunjukkan sampul buku tersebut pada remaja laki - laki itu.

"Wildest Dream?" gumam remaja laki-laki itu membaca judul buku tersebut, "Biar ku tebak, pasti cerita romance fantasy?"

Remaja perempuan tersebut menganggukkan kepalanya, "Dan kau tahu apa yang menarik? nama karakter di novel ini mirip dengan kita, aku sempat terkejut saat membacanya, nama karakternya Sierra dan Azazel seperti nama ku dan nama mu."

“Oh ya?"

"Hmmm.. lalu apa Azazel dan Sierra di cerita itu tidak mendapatkan happy ending mereka makanya kau menangis?"

“Azazel di dalam cerita ini mati demi melepaskan kutukan yang membuat wanita yang ia cintai selalu mati pada usia 25 tahun, Azazel dalam buku ini mengorbankan nyawanya demi wanita yang dia cintai. Apa jika terjadi sesuatu padaku kau akan mengorbankan nyawa mu untuk ku?” tanya remaja perempuan tersebut pada sang remaja laki-laki, namun belum sempat dijawab remaja perempuan itu sudah kembali bicara. “Ku harap kau tidak mengorbankan nyawa mu, karna aku tidak mau hidup seperti sosok Sierra dalam buku ini. Hidup hingga tua dalam penyesalan, menunggu maut datang menjemput dalam kesendirian dan kesepian. Aku tidak butuh hidup lebih lama kalau tanpa mu, Azazel.”

Remaja laki-laki itu berdecih, “Lagi lagi kau memusingkan hal yang tidak perlu."

“Ini perlu, bagaimana kalau kita ternyata reinkarnasi dari karakter di buku ini? Nama kita sama, tahun lahir kita juga hanya berbeda setahun setelah penulis buku ini meninggal dunia di rumah sakit jiwa.” remaja wanita itu menggoyang-goyangkan buku yang sebelumnya ia baca hingga selesai, “Bagaimana kalau kau reinkarnasi Azazel dan aku reinkarnasi Sierra? Bagaimana kalau aku akan mati lagi di usia 25 tahun? Aku tidak mau meninggalkan mu tapi aku juga tidak mau kau mengorbankan nyawamu untuk ku.”

“Pertama, aku tidak percaya soal reinkarnasi. Kedua, nama kita sama dengan nama karakter di novel itu adalah hal yang biasa, nama mu dan nama ku tidak eksklusif hanya kita yang memiliki. Jangankan karakter novel, orang di luar sana juga banyak yang memiliki nama yang sama dengan kita.”

“Tapi penulis novel ini menuliskan kalau ini dari kisah nyatanya sendiri, dia bahkan mendekam di rumah sakit jiwa sepanjang hidupnya.”

“Ketiga, sudah bukan hal baru lagi menggunakan kata kisah nyata untuk menjual cerita. Kebanyakan cerita di luar sana yang dilabeli diangkat dari kisah nyata adalah cerita fiksi, buku yang kau baca banyak yang berminat membacanya meski sudah belasan tahun sejak penulisnya meninggal bukan karna bukunya dianggap kenyataan melainkan karna mereka penasaran dengan karya terakhir penulis tersebut setelah terlibat kasus pembunuhan dan mendekam di rumah sakit jiwa hingga akhir hayatnya.”

“Tapi saat aku pertama kali bertemu dengan mu aku merasakan perasaan aneh Azazel, aku merasa seperti aku bertemu dengan seseorang yang sudah lama ku kenal padahal kita tidak pernah bertemu sebenarnya, aku merasakan perasaan bahagia luar biasa saat melihat mu pertama kali.”

Azazel memutar bola matanya jengah, “Itu namanya kau jatuh cinta pada pandangan pertama padaku, tidak ada sangkut pautnya dengan reinkarnasi apa lagi dengan novel fiksi mu itu. Kalau kau tidak mau mati muda di usia 25 tahun seperti karakter di novel itu, sebaiknya sekarang kau bangun dan ikut aku ke kantin. Aku tahu kau pasti belum makan sejak pagi, kau selalu saja berangkat ke sekolah tanpa sempat sarapan. Ini sudah jam makan siang, saatnya kau mengisi perut mu agar kau tidak sakit dan tidak cepat mati.”

Sierra menaruh buku yang sebelumnya ia baca kembali ke rak buku, “Ah pantas saja perasaan ku sejak tadi tidak enak, rupanya aku belum makan. Aku ingin makan yang pedas, hidungku mampat setelah menangis membaca buku itu.”

“Tidak boleh, perutmu kosong sekarang jadi tidak boleh memakan makanan pedas. Kau bisa sakit lagi seperti bulan lalu, aku malas kalau harus menggendong mu ke ruang kesehatan jika kau sakit perut lagi seperti bulan lalu.”

Sierra cemberut, "Jadi kau melarang ku bukan karna khawatir tapi karna malas menggendong ku?"

"Dua-duanya, tapi aku lebih tidak suka melihatmu kesakitan. Makan makanan yang tidak pedas saja sekarang, kalau kau masih ingin makan pedas aku akan menemani mu makan makanan pedas setelah jam pulang sekolah di restoran favorit mu."

Senyum Sierra mengembang lebar, “Kau memang yang terbaik Azazel, aku tidak sabar menunggu kita dewasa. Kau harus jadi suami ku, tidak ada yang bisa mengerti aku sehebat dirimu. Kau tidak boleh jatuh cinta ke perempuan lain ya? Saat dewasa nanti yang boleh kau nikahi hanya aku.”

Azazel mencubit hidung Sierra gemas, "Memangnya ada laki-laki di luar sana yang mau menikah dengan mu selain aku? Ku rasa tidak ada."

"Maka dari itu kau harus nikahi aku!"

"Iya iya aku akan menikahi mu."

"Janji ya?"

"Janji."

"Jangan mati mengorbankan diri seperti di buku itu juga ya?"

"Sudah ku bilang buku itu hanya fantasi tidak ada kaitannya dengan kita!"

"Sudah janji saja!"

"Iya aku janji tidak akan mati mengorbankan diri."

"Nah, begini kan aku jadi tenang."

"Terserah kau saja."

Wildest Dream [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang