Metime

8 1 0
                                    

Merasa namanya di sebut Saka menoleh kearah suara. "Ada apa? " tanya Yuksa saat melihat Saka berhenti dan menoleh.

Yuksa pun melihat keasal suara tersebut bahkan ia sudah mengetahuinya beberapa minggu bahkan hampir setiap hari ia mendengar suaranya mana mungkin ia lupa.

Sekar mendekat, ya suara itu adalah suara Sekar. Melihat aura ulat keket di wajah Sekar membuat Yuksa memutar matanya dengan jengah.

Tidak bisakah ulat keket itu pura pura tidak melihat Saka. Oh tidak bisa ya! Mana bisa namanya juga ulat keket butuh pohon untuk merayap mengais makanan.

Yuksa tiba-tiba tersenyum saat netra itu menabrak netranya. "Hallo Mbak! " ia enggan menanyakan kabar biar saja toh mereka tidak sedekat itu terakhir kali ia pun belum lupa saat si ulat keket itu nyemplung ke sawah dan berakhir dirinya yang di diamkan Saka.

"Sak.. Aduh! " tiba-tiba Sekar terjatuh di depan Saka.

Dengan sigap Saka membantunya berdiri membuat Yuksa mencebikkan bibirnya. Emang boleh seromantis itu!

Ia pun jadi sebal. "Katanya kita langsung pulang! " bukan bertanya melainkan merajuk ingin kembali ke rumah.

Saka melihat Sekar yang baik baik saja. "Saya duluan" pamitnya kemudian, membuat Yuksa senang bukan main.

Ia takut di gerayangi ulat keket di depannya apalagi sekarang tanduknya sedang goyang goyang saat melihatnya.

Sekar di buat kesal dengan anak kota di depannya. Kenapa sih anak kota itu harus kembali ke sini bersama Saka. Seharusnya ia berada di habitat aslinya. Maki Sekar, ia melihat Yuksa tak suka.

Yuksa tersenyum meledek Sekar jika saja saat ini Saka sudah ia taklukan ingin sekali lidahnya keluar menjulur dengan terang terangan pada gadis matang itu.

Saka menaikan hoodie Yuksa dengan benar ke arah kepalanya. Berhubung angin malam sangatlah dingin dan ia juga sedang membawa motor jenis matic. Ia takut Yuksa masuk angin.

"Pegangan" serunya.

Yuksa menurut bahkan ia merasakan memang anginnya terlalu kencang, balai desa dengan rumah Saka terlampau jauh karena memang rumah Saka yang berada di pedalaman kampung dan hanya satu satunya buntu pulak. Bahkan yang ada di pikiran Yuksa saat ini, kok bisa Saka hidup sebatang kara di sana sedangkan keluarga satu satunya hanya Mimi dan ibunya itupun saudara sepupu mendiang ibunya Saka karena beliau adalah anak tunggal.

"Kok bisa sih kamu tinggal disini sendirian? " dan pada akhirnya Yuksa bertanya, ia gelisah saat tidak mengetahui kisah masalalu orang di dekatnya.

"Bisa" jawab Saka singkat.

"Bukan gitu maksudnya! Kok bisa sih kamu gak pindah aja kerumahnya Teh Mimi? " Yuksa sangat gemas berbicara dengan kulkas sepuluh pintu di depannya.

Bahkan tanpa Yuksa sadari hembusan nafasnya menggelitik tengkuk Saka saking dekatnya ia berbicara.

"Mimi saja masih serumah dengan ibunya dan aku tidak mau menambah beban beliau yang sering sakit" jawabnya lumayan agak panjang.

Ternyata si kulkas sepuluh pintu ini tidak sariawan sariawan amat ia masih bisa menjawab dengan hangat.

"Wah baik sekali" puji Yuksa merasa tersentuh hatinya. "Jadi kamu lebih baik tinggal sendiri daripada merepotkan Teh Mimi dan keluarganya? " Saka hanya mengiyakan.

Dan mereka telah sampai di rumah Saka. Dulu jalanan kerumahnya masih terdapat jalan batu yang lumayan terjal namun sekarang terlihat sangat bagus untuk jalanan ke pedalaman kampung.

Tanpa Yuksa tahu semenjak ia kembali ke Jakarta Saka merogoh kocek milyaran untuk sebuah jalan kerumahnya dan merenovasi rumahnya. Dan berkat Yuksa juga Saka ada semangat kembali untuk menjaga rumah warisannya dari sang kakek. Rumah itu adalah peninggalan kakeknya yang di tempati ibunya Mimi dulu ia dan sang bunda menempati sebuah vila yang didirikan ayahnya saat mereka masih kuliah dan menjadi tempat singgah mereka saat mengantarkan bundanya pulang kampung. Saat bundanya meninggal ibunya Mimi memberikan rumah itu untuk Saka karena memang itu milik bundanya.

Saka & XuxaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang