cemburu

11 1 0
                                    

Saka tersenyum dengan cara pemikiran Yuksa yang ketinggalan jaman.

"Kok senyum? Aneh emang?" Yuksa bertanya dengan serius.

"Enggak" Saka membalas di wajah Yuksa dengan senyum manisnya.

"Okeh" cicit Yuksa terkesima. Seakan dia bukan pria yang selama dua minggu yang Yuksa kenal.

Tersadar dengan keterpanaannya Saka sudah berada di depannya jauh. Yuksa berlarian pelan di sisian ladang demi mengejar Saka.

"Saka" teriak Sekar dari arah kebun pisang tak lupa dengan lambaian ceria. Sekar membawa dua rantang di tangannya yang Yuksa yakini salah satunya diperuntukkan pada pria tampan di kampungnya, Saka siapa lagi?

Yuksa menggandeng tangan Saka. Hatinya merasa tak terima dengan cara Sekar mendekati Saka yang terbilang blak blakan bukan perempuan sholeha, heh apa urusannya kesitu? Namun menurut Yuksa gadis baik baik tidak mengejar laki-laki secara terang bulan.

"Eh ada kamu Yuksa" Sekar tersenyum hangat pada Yuksa namun menurut Yuksa senyuman itu mempunyai maksud lain tercium dari gelagatnya. Yuksa ngangguk sebagai perempuan sholehah menurutnya dan bisa terlihat darinya yang menurut pada orangtuanya.

"Saka aku bawain kamu makan siang pasti kamu belum makan" Sekar menuntun Saka ke saung dan duduk di amben papan.

Sekar membuka setiap rantang yang berisi makanan tersebut.

"Seharusnya kau tidak perlu repot begini. Saya sudah makan" Saka menolak halus namun hati Yuksa yang berteriak keras.

"Tapi Ka, kamu makan sedikit aja hargain aku yang dari pagi udah niat bikinin kamu makanan" mata Sekar sudah berkaca-kaca.

Saka melihat makanan buatan Sekar dan melahapnya sedikit di setiap rantang. Yuksa yang melihatnya sedikit ngiler sepertinya masakan tersebut sedikit menggugah nafsu makannya yang terbilang kuli.

Sekar melihat Yuksa yang memasang wajah mupeng tak tega ia memberikan oreg tempe sisa makannya tadi pagi pada Yuksa.

Songong! Gatau anak Sultan yak kamu Sekar..

Yuksa terpaksa menerimanya padahal tadi pagi ia sudah makan berkat usaha kerasnya mencabut pohon bawang daun ia jadi merasa lapar kembali.

Saka menyendokkan beberapa makanan ke dalam kertas nasi yang di bawa Sekar ia membungkusnya. "Boleh saya bekal? "

"Bo-boleh dong Ka. Bawa semuanya aja" Sekar tersenyum malu-malu, seenak itukah masakannya?!

"Tidak terimakasih. Sepertinya saya telah menunda kau mengantarkan makanan pada orangtuamu" sepertinya Sekar juga baru tersadar dari tujuannya ke ladang.

Setelah berpamitan tak rela dengan Saka, Sekar pun pergi. Yuksa seperti kambing budek diantara mereka.

"Kita mau kemana Kak? " Yuksa melihat pemanen tadi yang sudah pulang kerumahnya masing-masing.

"Kita cari ikan"

Jika menurut kalian perkataan Saka itu bohong maka jawabannya BIG NO sekarang Yuksa tengah melihat ikan kecil yang lewat di tengah sungai yang mengalir namun melihat Saka yang diam saja Yuksa tak yakin Saka akan menangkap ikan tersebut.

"Tadi katanya mau nangkap ikan? " Yuksa duduk selonjoran di batu dekat Saka.

Saka membuka bungkusan nasi dan mencomotnya sedikit ditaburkan ke dalam air taklama ikan kecil datang beramai-ramai memakan nasi tersebut.

"Woah! " Yuksa takjub.

"Turunkan kakimu ke air" perintah Saka dan Yuksa mencobanya sebelah. Seperti relaksasi ikan. Lumayan! Ia lalu mencelupkan keduanya.

Saka membuka kembali bungkusan nasi tersebut dan menyodorkannya pada Yuksa.

"A' " Saka menyuapi Yuksa karena Saka tahu Yuksa tidak terbiasa memakan makanan dengan tangan kotor dan tanpa sendok makan. Awalnya Yuksa ragu sebab ini pertama kalinya ia makan di suapi orang lain.

Yuksa melahap nasi di tangan Saka dan sesekali merasakan geli di kakinya. Ia bahagia bisa berkunjung di kampung Saka.

"Besok lusa kita pulang" gumam Saka yang ia yakini didengar Yuksa.

"Pulang? " Yuksa mengernyit.

"Iya!"

"Ke kota? " tanya Yuksa memastikan.

Yang di jawab anggukan ringan dari Saka.

Selama dua minggu ini Yuksa tak pernah ditelfon oleh ayahnya karena dengan alasan keselamatan apakah seperti itu? Ayahnya selalu takut jika ponselnya berhasil di sadap oleh orang-orang yang saat ini tengah mencari masalah dengan mereka.

Saka melihat Yuksa yang sedang menyelami alam lamunannya. Genggaman tangan terasa di telapak tangan Yuksa saat ia sadar kembali pada dunianya Yuksa terpana dengan tautan yang melilit jemarinya, ternyata Saka tengah menggandengnya menelusuri aliran sungai.

Bahagia? Tentu saja!

Yuksa sama seperti gadis polos lainnya yang menyukai keromantisan apalagi dengan suasana pegunungan yang membuat kemistri dari keduanya terpancar.

"E-eh Kak kita mau kemana? " Yuksa merasa asing dengan jalur yang mereka lewati saat ini.

"Nanti kamu bakalan tau! " ucap Saka ringan seperti mengerti isi pikiran dari Yuksa.

Yuksa menunduk malu malu.. Haih jadi penasaran kan!

Ternyata Saka membawa Yuksa ke sebuah vila kayu dan sedikit tua namun masih terawat, terlihat dari tidak ada debu pada lantai kayu dan sampah dedaunan dari bawah vila.

"Woah ini gila sih, " Yuksa memandang takjub. "Kakak juragan di sini tapi kok mau jadi bodyguard nya Ayah? " Yuksa bertanya pada Saka namun orang itu sudah lebih dulu masuk ke dalam vila.

Saka sedang meneliti ruangan dalam. Hampir setahun ia tak pernah pulang kampung dan saat ia pulang kembali betapa rindunya ia pada rumah kecil ini rumah yang menjadi saksi bisu Saka kecil yang meraung-raung menangis melihat ibunya terkapar tak berdaya karena penyakitnya. Vila ini adalah tempat tinggal Saka saat itu ia masih berumur 11 tahun tanpa ayah. Kata ibunya ayahnya pergi ke kota saat ia berusia 4 tahun namun hingga ibunya meninggal pun ayahnya tak pernah kembali. Dan saat ibunya meninggal ia bertekad mencari ayahnya ke kota dengan bermodalkan foto dan juga fotocopy Identitas ayahnya. Saat tubuhnya lelah dan terlunta-lunta ia menemukan sebuah dompet tanpa isi namun ada kartu Identitas di dalamnya ia mengantarkan dompet tersebut dengan berjalan kaki selama dua hari ke alamat pemilik dan ia bertemu tuan rumah setelah di periksa bahwa ia bukan pencopet atau penipu. Itulah awal mula Saka bertemu dengan Tuan Zack Justine ayah Yuksa.

Saka tersenyum ringan. Ia melirik Yuksa yang tengah menatapnya dengan tatapan ngerinya.

"Jangan gitu napasih senyumnya bikin takut aja" gerutunya pergi meninggalkan Saka yang semakin melebarkan bibirnya.

Yuksa meninggalkan vila ia ingin melihat lihat sekeliling dari desa itu. Ia melewati sekumpulan pemuda yang sedang asik nongkrong sambil meminum minuman keras di tengah hutan. Agak sedikit teler terlihat dari matanya yang sayu saat melihat Yuksa.

"Shuut.. Shutt.. Cecan cewek cantik mau kemana Eneng geulis?...... Temenin Aa ngopi yuk sama ini.... Woe ini apah? " tanyanya pada temennya yang sedang asik mencampur-campur minuman.

Temannya melihat apa yang di pegang oleh temannya itu. "Oh itu kue pancongnya Bi Eti" jawabnya ngasal padahal yang di pegang temannya itu batang singkong.

"Ari sia kin atuh tong di tambahan kucubung deui aing engges mabok randa" Yuksa semakin melihat mereka aneh. Mereka berempat yang dua lagi sudah tertidur, pingsan mungkin.

Berhubung Yuksa tidak mengerti dengan bahasa mereka dan akhirnya Yuksa pergi mengelilingi lagi dan ia sampai di vila tadi.

Yang mengganjal di dalam benaknya ialah nama kucubung, nama baru yang selalu di dengarnya saat para sahabat lelakinya ingin mabuk mabukan.

"Kamu dari mana? " tanya Saka tiba-tiba di belakangnya.

Yuksa berjingat kaget langsung menekan dadanya "ngagetin! "

Saka & XuxaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang