Bab 1. Surat Kontrak

348 8 0
                                    

Nabila terkejut saat hendak membuka pintu kamarnya, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dari luar. Semalam dia memang tidak mengunci pintu karena berpikir Ali akan kembali.

Gadis bersurai hitam itu tertegun melihat lelaki yang kemarin resmi menjadi suaminya berdiri di hadapannya dengan wajah datar. Ada sesak yang diam-diam menyusup dalam hatinya melihat tatapan Ali.

Kakaknya tak pernah menatapnya dengan tatapan datar seperti itu. Lelaki itu selalu menatapnya lembut dan penuh kasih sayang, tapi setelah keduanya sah menjadi suami istri Nabila tak pernah lagi menemukan kehangatan itu dalam pendar mata sang kakak.

"A-abng..." Nabila memanggil Ali dengan suara tercicit. Bila biasanya ketika mereka bertemu gadis itu akan langsung menghambur memeluk Ali, kini tidak lagi. Semua terasa canggung, tak lagi sama seperti dulu.

"Hmm..." Ali hanya menjawab dengan gumaman, lelaki itu lalu menerobos masuk tanpa mengindahkan keberadaan Nabila membuat gadis itu tertunduk sedih.

Jika boleh memilih, lebih baik dia selamanya menjadi adik dari lelaki yang dicintainya asal tetap mendapat kasih sayang dari pada menjadi istrinya namun tak pernah dihiraukan keberadaanya.

"Dek..."

Nabila yang hendak melangkah mengurungkan niatnya saat Ali memanggilnya, kemudian gadis itu memutar tubuhnya menghadap Ali namun dengan kepala tetap tertunduk.

"Kemarilah," perintah Ali yang kini duduk ditepi kasur Nabila yang juga menjadi kasur miliknya.

Nabila menghela langkahnya mendekati Ali, gadis itu lalu duduk di kursi riasnya menghadap Ali. Kedua tangannya saling bertautan dan meremas. Ini bukan kali pertama dia duduk berhadapan dengan Ali, tapi mengapa kali ini rasanya menakutkan?

"Kamu tahu kan kalau pernikahan ini terpaksa?"

Mendengar pertanyaan Ali, Nabila mendongak. Hanya sesaat karena setelah netra keduanya bertemu tatap gadis itu kembali menundukkan kepalanya dan mengangguk pelan.

Ali menghela nafasnya melihat sikap Nabila yang seperti takut pada dirinya. Dia tahu mungkin sikap dinginnya membuat gadis itu tak nyaman, tapi diapun tak bisa bersikap seperti biasanya saat statusnya tak lagi sebagai adik dan kakak melainkan suami dan istri. Namun, dari dasar hatinya dia teramat menyayangi adik yang sekarang menjadi istrinya itu.

Baginya, Nabila adalah hadiah yang Tuhan kirimkan ketika dia sangat menginginkan seorang adik. Dia menyayangi Nabila dengan segenap hati dan jiwanya, bahkan ia sempat berpikir kalau dirinya akan menjadi orang yang paling sedih ketika gadis itu menikah. Namun siapa sangka justru dia sendirilah yang menjadi suami dari adik angkatnya itu.

"Ini, bacalah!" Ali menyodorkan sebuah map berwarna kuning pada Nabila membuat gadis itu mengernyit bingung namun tangannya tetap meraih map yang diberikan Ali.

Perlahan, tangan Nabila bergerak membukanya. Netranya bergerak-gerak membaca setiap kalimat yang tertera.

"I-ini..." Nabila tak mampu melanjutkan ucapannya, matanya membola dengan tubuh yang menegang kaku.

"Yah, itu kontrak pernikahan kita. Kita akan bercerai setelah kamu melahirkan anak Abang," papar Ali tanpa perasaan.

Nabila menatap Ali dengan tatapan berkaca-kaca. "Kenapa begini, Bang?" tanyanya lirih, kaca-kaca di matanya pecah membentuk aliran sungai di pipinya.

"Lalu kamu mau bagaimana? Selamanya menjadi istri Abang? Bagaimana dengan Mbak Nayla? Dia pasti akan sangat terluka, Dek. Melihat Abang menikahimu saja sudah membuatnya terluka, apalagi kalau Abang tetap mempertahankan kamu selamanya."

Nabila menunduk, kalimat yang Ali ucapkan dengan suara frustasi membuat hatinya kian mencelos. Suaminya begitu memikirkan istri pertamanya, lalu bagaimana dengannya?

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang