Bab 4. Pertengkaran

312 8 0
                                    

"Makan!"

Nabila melongo melihat banyaknya makanan yang tersaji di depannya. Setelah memaksanya untuk ikut, Ali membawanya ke kafe yang dulu sering sekali mereka kunjungi. Dia sendiripun sempat terkejut karena setelah Ali menikah, mereka tidak pernah lagi mengunjungi kafe langganan mereka itu.

"Abang suruh kamu makan, Dek. Bukan bengong ngeliatin doang kaya gitu," tukas Ali. Wajahnya masih tampak datar dan suaranya terdengar dingin.

"Ta-tapi... Ini banyak banget," gumamnya yang masih dapat di dengar oleh sang suami.

Ali berdecak, "Tadi pagi kamu pergi tanpa

sarapan, dan tadi juga Abang perhatiin kamu enggak nyentuh makanan sama sekali. Abang yakin yah kalau dari pagi kamu enggak makan sama sekali," ucapnya kesal.

Nabila menatap intens Ali, senyum tipisnya terbit mendengar ucapan Ali. Lelaki itu memang mengatakannya dengan wajah datar dan suara dingin yang terdengar kesal, namun gadis itu dapat merasakan perhatian sang kakak yang telah lama hilang.

"Abang tadi lihatin aku kerja?" tanyanya pada Ali. Matanya berbinar mendapat perhatian dari lelaki yang dicintainya.

Alk mengalihkan tatapannya kelain arah, "Enggak, tadi cuman kebetulan lewat sana, habis ketemu klien," ucapnya gugup.

Nabila mengulum senyumnya, tanpa membalas ucapan suaminya, gadis itu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Bukan hal yang baru baginya menghadapi gengsi lelaki itu, padahal ia yakin kalau Ali memang sengaja datang ke sana untuk menemuinya karena khawatir ia tak makan, seperti yang dulu sering lelaki itu lakukan.

***

Waktu terus berlalu, sudah tiga bulan usia pernikahan Ali dan Nabila. Tak ada perubahan yang berarti, lelaki itu masih bersikap dingin pada istri keduanya meski terkadang terselip perhatian-perhatian kecil yang tak jarang membuat istri pertamanya cemburu.

Saat ini Ali tengah berada di kamarnya dan Nayla, lelaki itu begitu intens menatap istrinya yang tengah memakai barang-barang perawatan wajah yang ia sendiri tak mengerti.

"Kamu udah sentuh Nabila?"

Ali mendengus mendengar pertanyaan istrinya. Enggan menjawab, lelaki itu memilih untuk membaringkan tubuhnya dan menutupnya dengan selimut.

"Aku nanya, tolong jangan menghindar." Nayla membalikkan tubuhnya menghadap suaminya.

Ali menyibakkan selimutnya kesal dan beranjak duduk. "Pertanyaan kamu ngaco," tukasnya kesal. Matanya menatap tajam istrinya.

Nayla terkekeh, "Ngaco? Ngaco dari mananya?" tanyanya sinis, tatapannya tak kalah tajam.

"Ya ngaco, apa menurut kamu aku bisa menyentuh perempuan yang enggak aku cintai." tanya Ali kesal karena bukan sekali dua kali istrinya itu menanyakan hal yang sama.

"Kamu tahu kan kalau pernikahan kamu sama Nabila itu untuk mendapatkan keturunan? Kalau kamu aja belum nyentuh dia gimana bisa Nabila hamil? Kalau Nabila enggak hamil juga itu artinya dia akan semakin lama jadi istri kamu dan aku juga semakin lama menahan sakit karena harus berbagi suami. Atau memang kamu sengaja memperlambat karena kamu sudah mulai cinta sama dia?"

Ali melotot tak percaya mendengar penuturan sang istri yang menggebu-gebu. Lelaki itu beranjak menghampiri istrinya, "Maksud kamu apa ngomong kaya gitu? Kamu pikir aku suka sama pernikahan itu? Kamu pikir aku mau ada di posisi ini?" tanya Ali, nafasnya memburu dengan wajah merah padam menahan amarah.

"Kamu istri aku, aku cinta sama kamu. Tapi dia juga adik aku, meski kami bukan saudara kandung tapi aku hidup sama dia dari aku masih kecil. Kamu pikir aku sanggup nyakitin salah satu diantara kalian?"

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang