Bab 6. Trauma

320 8 0
                                    

Sesaat setelah mendengar pernyataan Arif yang tak pernah di duga, kesadaran Ali menghilang sepenuhnya. Arif yang melihatnya mendengus dan beranjak mengangkat tubuh kekar sahabatnya itu lalu membaringkannya di atas tempat tidur Nabila, berdampingan dengan gadis yang juga masih memejamkan matanya itu.

Meski amarah dalam dirinya terhadap Ali begitu besar, Arif tetap mengobati sahabatnya. Bagaimanapun, sahabat yang kini telah menjadi suami dari wanita yang dicintainya itu sudah ia anggap seperti saudara. Walau enggan mengakui, namun Arif menyayanginya dengan tulus.

Setelah selesai mengobati Ali dan memastikan kondisi Nabila, dokter muda itu keluar dari kamar. Ketika menuruni tangga, Arif berpapasan dengan Bi Asih yang membawa nampan berisi bubur dan teh hangat.

"Bubur sama tehnya simpan saja dulu, Bi. Biarkan mereka istirahat dulu," ucapnya pada Bi Asih. Dirinya memang sudah mengenal Bi Asih karena cukup sering mengunjungi rumah sahabatnya hingga tak lagi canggung ketika berinteraksi dengan wanita paruh baya itu.

"Baik Tuan. Oh iya Tuan mau pulang? biar Bibi antar ke depan."

Arif tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak usah Bi, terimakasih. Saya sendiri saja. Oh iya, saya minta tolong bibi tebus resep ini di apotik yah, nanti kasihkan pada Ali." Devano menyerahkan selembar kertas kecil berisi resep yang ia tulis.

"Baik, Tuan." Bi Asih mengambil kertas yang disodorkan Arif lalu kembali ke dapur.

***

Ali mengerjap dan membuka matanya, keningnya mengernyit merasakan nyeri di sekujur tubuhnya terutama wajah dan perutnya. Lelaki itu lalu mengedarkan tatapannya dan berhenti saat netranya menemukan tubuh Nabila yang terbaring dengan mata terpejam.

"Sshh..." Dengan ringisan yang terus mengalun dari bibirnya, Ali beranjak turun dan memutari tempat tidur. Mendudukkan tubuhnya di sisi Nabila, menggenggam jemari gadis itu erat namun tetap lembut. Tak peduli rasa nyeri yang dirasakannya, kepalanya yang terus berdenyut kencang. Yang ada dipikirannya saat ini hanya Nabila.

"Dek, bangun..." Ali bergumam, bibirnya mendarat di punggung tangan gadis itu dan menciuminya penuh rasa bersalah.

"Tolong jangan buat Abang semakin merasa bersalah. Bangun, sayang..."

"Mmmhh... Mmmh..."

Ali mendongakkan wajahnya yang semula menunduk, lelaki itu terlonjak saat mendengar rintihan Nabila. Tubuh gadis itu bergerak-gerak gelisah dengan peluh yang membanjiri keningnya membuat Ali semakin panik melihatnya.

"Sayang... Hey, bangun Dek." Ali mengusap lembut pipi Nabila yang memerah dengan jejak telapak tangannya. Melihat itu rasanya dia ingin membenturkan kepalanya ke dinding.

"Dek..." Tubuh Ali bergetar ketakutan saat tubuh Nabila bergerak semakin gelisah. Rintihan gadis itu bahkan telah berubah menjadi tangisan yang menyayat hati namun dengan kedua mata yang masih terpejam rapat.

"Bangun, Dek..." Ali mengeratkan genggamannya di jemari Nabila. Punggungnya bergetar karena isakkan yang tak lagi bisa ditahan. Melihat bagaimana tersiksanya perempuan yang sangat disayanginya membuat Ali merasa kematian seperti ada di depan matanya.

"Aaaaa... Pergi!"

Ali tersentak saat tangannya di sentak oleh Nabila yang baru saja membuka mata. Gadis itu menjerit dan menendang-nendang kakinya membuat Ali kewalahan dibuatnya.

"Dek..." Ali berusaha menahan tubuh Nabila yang terus bergerak-gerak namun entah tenaga dari mana tubuhnya justru terpental ke lantai karena dorongan dari istrinya itu.

Nabila beringsut duduk, tangannya memeluk erat selimut yang menutupi tubuhnya. Wajahnya mengkerut penuh ketakutan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.

Terpaksa Jadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang